Friday, December 16, 2011

Pengakuan Sang Pramugari - part 2

PENGAKUAN SANG PRAMUGARI
BAB 2.




“Turun Grace?: Jimmy mengajak saya sebelum ia sendiri turun dari mobil.
“Nggak lama kan? Gue tunggu di mobil aja ya?”
“Nggak aman . Mending lo ikut turun deh. Bentaran kok”
Jimmy ini memang sifatnya gentlemen banget. Makanya langganan-langganan cewek di Salon banyak yang menyukai dia. Jimmy juga jadi kesayangan Bu Nancy sampai diangkat jadi manajer. Konon sejak dia bekerja di salon, salon Bu Nancy berkembang pesat. Ya mungkin karena kepandaian dia membawa diri dan menyenangkan hati orang. Terus terang saya banyak belajar dari Jimmy soal ini. Soal membawa diri, menjaga tutur kata dan bersikap di depan pelanggan. Intinya, usaha salon itu adalah industry jasa. Jadi pelayanan alias servis itu nomer satu. Dan sepertinya saya cukup berbakat. Baru empat bulan kerja sudah banyak langganan tetap.
Penghasilan saya juga sudah lumayan. Gaji pokoknya memang tidak besar, tapi tips-tips nya itu yang lumayan. Pernah saya mendapat tips 500 ribu dari si bapak yang mirip pejabat itu. Karena dia sangat berterimakasih pada saya. Walau saya bukan tukang creambath, saya tidak keberatan diminta memijat kepala si Bapak itu. Bahkan sampai ke punggungnya. Walau tidak belajar dan tidak punya sertifikat sebagai tukang pijat, kalau Cuma pijat biasa saja sih saya bisa. Sering diminta mama dan papa dulu memijati mereka. Waktu itu, tukang creambath kami semua sedang full. Si Bapak mengeluh stress bahunya sakit. Akhirnya saya menawarkan diri. Padahal tariff creambath di salon Bu Nancy hanya 250 ribu rupiah saja. Tapi si Bapak memberi saya tips 500 ribu. Hebat kan? Artinya servis saya memuaskan. Dan artinya Jimmy adalah guru yang baik.
Rumah kos Jimy kelihatan seperti rumah biasa. Nggak seperti rumah kos umumnya.
“Gue sebenarnya ngontrak bareng teman teman disini. Ada empat kamar. Kita berlima patungan” kata Jimmy menjelaskan.
“O ngontrak. Berapa perbulannya?” Saya penasaran. Saya soalnya sudah lama ingin mandiri juga. Sudah punya penghasilan, saya ingin menikmati sedikit kebebasan. Kala uterus-terusan tinggal sama orang tua, sampai kapan saya bisa jadi anak gaul? Selamanya saya akan kuper. Diantar Jimmy saja mama sudah curiga. Saya terpaksa bohong sama mama ; mengatakan kalau Jimmy itu gay. Mama percaya. Kalau tidak, mana mungkin saya bisa diantar jemput sama Jimmy.
“seorang jatuhnya jadi 500 ribuan lah”
“ngga mahal juga ya?” terbayang, dengan gaji saja sebenarnya cukup uang saya untuk ngontrak. Tapi itu artinya keperluan lain bisa tidak terpenuhi. Baru terbayang sekarang bagaimana sulitnya orang tua kita mengatur keuangan untuk mencukupi semua kebutuhan dengan angka yang pas-pasan. Saat saya sudah cari uang sendiri dan berusaha mandiri, sering saya jadi kagum sama papa dan mama. Saya tau gaji papa saya itu tidak sampai 10 juta sebulan. Bagaimana cara mama mengatur penghasilan itu agar cukup untuk bayar listrik, bayar PAM, belanja makan, bayar sekolah anak-anak? Rasanya kalau saya disuruh jadi mama, saya akan angkat tangan. Nyerah. Sedangkan, dengan gaji satu juta saja, saya belum sanggup membiayai diri sendiri. Padahal hanya diri saya sendiri , tidak perlu berbagi dengan orang lain! Ibaratnya kalau mau berhitung gaji papa yang, anggap saja 7 juta, itu dibagi untuk 7 kepala dirumah. Mama, papa dan 5 anak. Satu orang jatahnya 1 juta. Sama dengan pendapatan saya sekarang, 1 juta. Tapi buat saya 1 juta itu nggak cukup. Ngga memungkinkan untuk mandiri.
“Kenapa? Kamu pengen ngontrak?”
Jimmy membuka pintu kamarnya.
Saya ikut melangkah masuk padahal belum diajak. Tapi saya memang sudah tertarik duluan, merasa penasaran ingin lihat seperti apa kamar anak kos. Kamarnya tidak besar tapi juga tidak kecil Kira-kira dua kali tiga meterlah. Tapi enaknya, Jimmy punya kamar mandi sendiri. Tidak seperti kebanyakan rumah kos lain yang kamar mandinya harus berbagi antar penghuni. Di rumah sayapun saya harus berbagi kamar mandi. Bahkan harus berbagi kamar dengan adik bungsu saya. Mama dan papa saja tidak punya kamar mandi sendiri. Dari empat kamar yang ada dirumah kami, hanya ada satu kamar mandi. Kamar mandi itu juga merangkap kamar kecil buat tamu. Rumah kami tidak besar. Tergolong tipe 110. Artinya luas tanahnya 110 meter persegi. Bangunannya bertingkat dua. Tidak ada sisa lahan untuk halaman. Di depan hanya ada teras dan lahan buat parkir mobil. Bukan garasi hanya car port. Tapi saking kecilnya car port itu. Mobil Ki**** dinas papapun tidak muat. Terpaksa parkir dijalanan di depan pagar rumah.
Jimmy lumayan punya selera dalam mendekorasi kamarnya. Ranjangnya saja keren. Saya pikir, kamar cowok itu pasti berantakan dan seadanya. Seperti yang suka saya lihat di film – film atau sinetron. Kamar kos cowok biasanya malah tidak ada tempat tidur, hanya kasur busa atau spring bed digelar dilantai dibungkus sprei. Tapi Jimmy punya tempat tidur kayu yang rada tradisional. Bahkan pakai kelambu segala! Merah warna kelambunya.
“Keren” puji saya spontan.
“Banyak nyamuk soalnya jadi pake kelambu “ kata Jimmy “ranjangnya bukan punya aku. Udah dapat dari yang punya kontrakan”
“enak dong . Ngga usah beli perabotan?”
“gue hanya beli lemari pakaian aja. Tambahan. Soalnya lemari pakaian yang ada nggak cukup. Barang gue banyak! Nih” Jimmy membuka lemarinya. Ck.ck.ck. Koleksi pakaian saya sebagai cewek saja kalah! Dan isi lemari Jimmy juga sangat rapih untuk ukuran cowok. Saya semakin yakin kalau Jimmy metrosexual. Atau bisa jadi malah gay seperti kata Yati kapster. Cowok normal yang masih single mana ada yang serapih ini? Lagipula kalau Jimmy cowok normal, mana mungkin juga dia masih single?
Tampang keren. Body gagah. Duit punya. Kerjaan tetap sudah ada. Apalagi yang menghalangi dia untuk pacaran? Bahkan menikah. Umur Jimmy kira-kira sudah 30 an menurut perkiraan saya sih. Saya tidak pernah menanyakan usianya secara langsung. Jadi saya merasa makin nyaman saja dengan pikiran dan keyakinan itu. Saya merasa aman. Saya duduk diranjang Jimmy itu. Spreinya warna putih mirip kamar hotel.
Jimmy ikut duduk disebelah saya.
“Cobain deh” Jimmy menyodorkan bantal.
“bantal kok dicobain, emangnya makanan?” saya ketawa.
“empuk banget. Bahannya latex”
“Latex?”
“Iya. Baru pernah denger kan? Emang ini barang baru. Lagi ngetrend lho. Katanya paling bagus buat kesehatan. Bisa meningkatkan kualitas tidur! Mahal lagi harganya! Cobain” jimmy memaksa.
Saya lalu rebahan menikmati bantal latex itu. Saya belum pernah dengar sama sekali. Latex setahu saya semacam karet – ingat pelajaran sekolah. Karet kok bisa jadi bantal? Bukannya karet itu bahan untuk ban mobil? Atau sarung tangan dokter kalau mau operasi pasien di rumah sakit? Atau….kondom?
“Enak? Beda kan rasanya?”
Wajah Jimmy tahu-tahu sudah dekat sekali sama wajah saya. Tapi saya masih belum merasakan gelagat apa-apa. Ya namanya juga teman. Saya sama sekali tidak curiga apalagi takut.
“Lumayan.. Tapi belum terasa sih enaknya”
“Makanya, nginep disini sekali-sekali”
“Hah?” kaget juga saya “Nginep?”
“Iya. Emang kenapa?”
Saya diam. Malu. Gengsi mau mengatakan yang sebenarnya. Mana mungkin saya dikasih ijin bermalam dirumah orang? Apalagi cowok. Walaupun mama percaya Jimmy itu gay, tapi Jimmy kan nge kos. Tidak tinggal sama orangtuanya. Lagipula tetap saja akan aneh ditelinga mama kalau mendengar saya menginap dirumah teman “gay”. Sejujurnya, mama itu termasuk orang yang anti sama gay. Di mata mama gay itu menjijikan atau semacam penyakit , pilihan sexual yang dikutuk oleh Tuhan dan melanggar perintah agama. Mama memang pemeluk agaka Kristen yang cukup kuat. Kami sekeliarga hampir tidak pernah absen ke gereja setiap minggu.
Waktu kecil, saya suka malas ke gereja. Soalnya, dari Senin sampai Jumat, saya sudah harus bangun pagi. Akhir pekan, maunya kan santai. Bangun siang seenaknya. Tapi yang ada kami tetap harus bangun pagi karena harus ke gereja. Kebaktian pertama itu jam 9.30. Berarti harus berangkat dari rumah sekitar jam 8.30 karena jarak dari rumah kami ke gereja cukup jauh. Rumah kami di bilangan Jakarta Selatan dan gerejanya di Jakarta Pusat. Itulah sebabnya saya menganggap mama cukup fanatic. Buktinya, walau pindah lokasi, mama tetap bersikeras mengikuti jemaat gereja yang dulu. Gereja dimana mama dibesarkan. Mama sudah merasa nyaman disitu sepertinya.
Dan mengenai gay ini, memang bagi sebagian besar agama masih dianggap haram. Bahkan di beberapa Negara katanya juga masih illegal. Di lingkungan masyarakat yang sudah moderen deperti Jakarta inipun masih banyak orang yang mencibir melihat kaum gay. Apalagi mama yang merupakan generasi tahun 60 an. Pasti pemikiran dan pakem pakem hidupnya lebih kolot lagi. Lebih jadul kata bahasa gaulnya. Ditambah lagi mama juga penganut agama yang cukup fanatic.
“Kenapa Grace?”
“Loe kayak nggak tahu nyokap gue aja Jim” saya mengeluh.
“Nyokap loe kenapa? Kayaknya nyokap suka sama gue tuh” Jimmy keg e-eran
“Itu kan menurut loe”
“Maksud loe? Nyokap loe Cuma pura-pura baik aja sama gue?”
“Ya…gimana ya” saya sulit menjelaskannya. Takut nyinggung perasaan Jimmy. Juga malas karena panjang ceritanya. Lagipula, saya masih sayang sama mama dan bisa memahami perasaan dan jalan pikiran mama juga sih. Saya tidak menyalahkan mama. Jadinya serba salah dan nggak tau harus ngomong apa.
Jimmy semakin mendekatkan kepalanya ke wajah saya.
“Apa sih yang kurang dari gue? Apa coba?”
“maksud loe?”
“Loe suka nggak sama gue?”
“Suka. Loe teman yang baik. Yang terbaik malah. Sebelumnya gue nggak punya teman dekat Jim.” Jawab saya sejujurnya.
“Sumpah?”
“Swear”
“terus, kenapa nyokap loe nggak suka sama gue?”
“karena….” Saya masih ragu
“terus terang aja sama gue.” Jimmy mendesak
“janji ya, jangan marah? “ Saya tetap nggak tega mengeluarkan kata-kata “gay’ itu dari mulut saya.
“Kayak ngga kenal gue aja. Gue bukan tipe yang gampang tersinggung. Gue cuek kok. Terserah aja orang mau nilai gue apa.”
“Oke. Tapi, loe harus tau, ini pendapat nyokap gue lho ya. Bukan pendapat gue. Deal?”
“rese lo ah” Jimmy mulai nggak sabaran.
“Jim, nyokap itu termasuk orang yang anti sama gay”
“Hah???” Jimmy melotot. Matanya seperti mau copot. Dan karena wajahnya dekat sekali sama wajah saya, saya akhirnya jadi ikut kaget dan ikut melotot juga. Close up sekali posisi mukanya dengan muka saya.
“Iya. Maklum deh namanya juga orang tua…jadul. Kolot. “
“Gay?”
Saya mulai deg degan. Takut banget membuat Jimmy tersinggung.
“Gue gay???”
“Sorry Jim. Loe kan tadi udah janji nggak akan marah?”
“menurut loe, gue gay?”
Giliran saya yang kaget sekarang. Kenapa Jimmy bertanya seperti itu? Seolah olah….
“Jawab Grace. Loe selama ini nyangka gue gay juga?”
“Emangnya…elo…” kalimat saya jadi terbata-bata. Sekarang kebingungan mulai melanda. Keraguan mulai datang. Melihat ekspresi wajah Jimmy yang seperti kaget dan marah itu. Jangan-jangan, Jimmy bukan gay? Ya Tuhan. Kalau dia bukan gay, berarti saya sudah menuduh dia dong? Ya ampun. Nggak terbayang bagaimana perasaan Jimmy saat ini. Bagaimana perasaan seorang pria sejati yang dituduh gay, coba?
“Akan gue buktikan…”

BERSAMBUNG KE BAB 3 KLIK DISINI
INGIN BACA PART 1 KLIK DISINI

Hotel Room

2 comments: