Friday, December 16, 2011

Pengakuan Sang Pramugari - Part 3

PENGAKUAN SANG PRAMUGARI
PART 3




Jimmy nggak main-main sama perkataannya. Di malam dia mengusir saya. Saya paham, dia marah karena saya teriak teriak , menampar dan mencakar dia sampai berdarah. Tapi dipihak lain, saya juga ingin dia memahami perasaan saya. Bagaimana dengan persahabatan yang telah terjalin? Apakah itu tidak berarti apa-apa buat dia? Saya pikir dia sudah sangat mengenal saya. Seharu-hari dia sahabat yang memahami perasaan saya. Tapi malam itu, malam disaat dia sudah “menyatu’ dengan saya sebegotu jauh, dia malah berubah! Bukannya dia makin mengenal saya, sebaliknya dia menjadi orang asing yang buas!
“Yah namanya juga laki-laki. Laki-laki tuh semua begitu. Habis manis sepah dibuang”
Saya kaget mendengar ucapam Yati Kapster. Saya jadi paranoid sejak kejadian itu. Kuatir ada orang lain tau perbuatan saya dan Jimmy.
“Maksud kamu apa Yati?”
“Itu… si Budi pengen kawin lagi”
“Hah?” lega juga saya, ternyata Yati bukan sedang membicarakan saya. Saya baru sadar kalau Yati sebetulnya lagi bicara di handphone. Mungkin sama istrinua Budi. Budi office boy, mau kawin lagi? Ya Tuhan. Apa yang terjadi dengan dunia? Berapa sih penghasilan seorang office boy? Kok berani nikah lagi? Apa dia sanggup membiayai dua istri? Belum lagi anak-anak. Setahu saya anaknya Budi sudah tiga orang.
Yati Kapster masih bicara ditelepon.
“Yeee kamu jangan mau di cerai begitu saja! Rugi dong! Kamu harus minta uang cerai! Uang tunjangan! Anak-anak kamu mau dikasih makan apa? Gengsi? Gengsi ngga bisa bikin perut kenyang taukkk. Gengsi ngga bisa beli pakaian, ngga bisa bayar kontrakan. Makan aja tug gengsi. Jaman sekarang yang penting itu duit. Duiittt! “ suara Yati emosi sekali. Kalau Yati yang sebenarnya tidak terlibat permasalahan saja bisa segitu emosinya, bayangkan perasaan istrinya Budi. Istri yang akan ditinggalkan.
Saya tahu, kebanyakan keluarga di Indonesia masih tradisional. Walau ada keluarga yang suami istri sama-sama kerja, tapi masih banyak istri –istri yang bergantung sepenuhnya pada penghasilan suaminya. Bahkan banyak juga yang merelakan karirnya untuk jadi ibu rumah tangga. Hanya mengurus rumah, suami dan anak saja. Sayapun pernah membayangkan akan jadi istri seperti itu. Karena mama saya juga seperti itu adanya. Kalaupun saya jadi ibu rumah tangga, suami saya harus kaya raya! Harus bisa mencukupi semua kebutuhan saya. Dan uang bulanan dari suami harus lebih besar dari gaji yang bisa saya peroleh jika saya bekerja! Kalau tidak, buat apa? Apa untungnya? Lebih baik tetap kerja.
Tapi, sekaya apaun suami, kalau akhirnya terjadi perceraian, nyonya besarpun akan jatuh miskin. Apalagi hukum di Negara kita ini belum jelas mengatur soal perceraian. Setahu saya sih memang ada pasal yang menyebutkan bahwa suami harus memberikan tunjangan pada istrinya jika menceraikan. Tapi ada juga suami yang memfitnah istrinya dengan tuduhan perselingkuhan – hanya supaya mereka terbebas dari tanggung jawab untuk membayar tunjangan. Saya pernah dengar soal itu dari Tante Mei, teman gereja mama.
Padahal suaminya itu pengkhotbah. Tapi pas mereka bercerai, borp-boro tante Mei dapat bagian kekayaan. Suaminya memang pandai. Perceraian itu mungkin sudah lama diniatkan dan direncanakan dengan rapih. Sehingga semua harta milik mereka, tahu-tahu sudah dijual dan pindah tangan ke orang lain. Jadi saat pembagian harta gono-gini Tante Mei tidak dapat sepeserpun karena suaminya ternyata tidak punya apa-apa lagi. Mama bilang sih, mama yakin harta itu dipindah namakan oleh sang suami secara diam-diam. Masih milknua, tapi secara legalitas sudah milik orang lain. Permainan kotor belaka. Singkat kata, sering sekali kaum wanita, istri, yang jadi korban.
Saya yang belum menikahpun sudah merasa jadi korban laki-laki. Jimmy! Bajingan sialan serigala berkulit domba itu sudah menghancurkan kepercayaan saya pada kaum adam. Sungguh. Dulu, walaupun banyak mendengar cerita kekejaman lelaki, saya tidak serius menanggapinya. Paling hanya sebatas simpati. Sangat beda rasanya setelah mengalaminya sendiri. Perceraian memang menyakitkan, tapi kehilangan kehormatan, lebih menyakitkan lagi! Apalagi setelah itu saya dihina, diusir dan diancam!
“Siapa yang ngancam kamu?” tanya bu Nancy .
Saya akhirnya tidak kuat. Sejak malam itu, Jimmy selalu mencari gara-gara dan mencari kesalahan saya. Saya dipermalukan di depan pelanggan berkali-kali. Bahkan pernah, Jimmy sengaja menambahkan pewarna pada cat rambut yang sedang saya olah. Diam-diam saat saya meleng dia menambahkan warna merah itu. Hasilnya, rambut Bu Siska yang harusnya dicat pirang jadinya merah menyala. Saya bukan Cuma dimarahin, dibentak-bentak di depan semua orang, tapi juga…dipecat!
“Grace, kamu saya pecat karena merugikan kostumer!”
“Tapi itu semua terjadi karena Jimmy BU”
“apa hubungannya sama Jimmy? Yang mengecat rambut Bu Siska kan kamu? Bu Siska juga marah sama kamu! Dia ngadu sama saya! Katanya, kalau saya nggak mecat kamu, dia akan tuntut salon ini ke pengadilan!” Bu Nancy emosi nada bicaranya.
Pasti Bu nancy kuatir. Reputasi itu memang hal penting untuk usaha apapun. Apalagi salon. Saya juga tidak menyalahkan Bu Siska. Saya kasihan dan saya terima salah. Tapi saya marah sama Jimmy, karena saya tahu Jimmy yang melakukannya!
“Atas dasar apa kamu menuduh Jimmy?” tanya Bu Nancy setelah saya ceritakan dugaan saya. Ya memang hanya dugaan, karena saya tidak melihat sendiri. Alibi saya hanya satu : saya yakin dan sadar betul tidak mencampur warna cat yang salah. Jadi pasti ada orang lain. Tentunya orang yang sengaja mau mencelakakan saya.
“Di salon ini, nggak ada orang yang benci sama Bu siska kan , Bu?”
“maksud kamu apa? Jangan berbelit belit deh. Waktu saya nggak banyak!”
“yang ada justru orang yang benci sama saya Bu. Dan orang itu adalah Jimmy!”
“Setau saya kalian berteman baik? Kok bisa jadi musuh?”
“Ibu nggak tau apa yang terjadi diantara kita”
“Ada apa emangnya?” Bu Nancy jadi penasaran sekarang. Dia yang tadinya cuek, menghadapi saya sambil melakukan tugas lain di laptop, sekarang berubah jadi focus.
“dia… saya…” saya tak bisa mengucapkannya. Saya tidak mungkin menceritakan kejadian kotor itu pada siapapun. Sebab itu artinya sama saja dengan membuka aib sendiri kan?
“Bilang terus terang! Kalau dia salah saya akan fair! Saya orangnya fair Grace” desak Bu Nancy.
Saya terisak-isak lagi. Bahkan tersengal-sengal sampai sesak nafas. Ada batu yang mengganjal, yang ingin saya muntahkan tapi tidak bisa. Karena batu itu sangat kotor, memalukan, aib. Cukup saya dan Jimmy yang tahu. Kalau bu Nancy tahu, ada resiko dia akan cerita pada orang lain. Lama-lama, dari mulut ke mulut, berita itu akan menyebar seperti sel kanker. Apalagi ini dunia salon. Dunia dimana orang-orang hobby bergunjing. Orang yang mereka tidak kenal saja dijadikan bahan gunjingan. Apalagi gunjingan tentang orang yang mereka kenal. Pasti makin seru gunjingannya.
Tapi, saya akhirnya memilih untuk beterus terang. Saya tidak mau kehilangan pekerjaan saya! Saya tidak mau hak saya ditindas dan dianiaya! Cukup sudah Jimmy menghancurkan harga diri saya. Saya tidak akan beri dia kepuasan untuk menang lagi sekarang! Saya sudah bertekad bulat. Saya harus kuat. Kalaupun nanti jadi bahan gunjinga, so what? Toh itu bukan gossip. Itu kenyataan! Saya memang salah. Saya akan terima resikonya jadi bahan gunjingan. Pokoknya keadilan harus ditegakkan.
Biar Jimmy juga jadi bahan gunjingan! Biar semua orang tau siapa dia sebenarnya! Maling! Bajingan! Dia bukan seperti yang semua orang kenal selama ini. Dia bukan lelaki santun yang baik hati dan ramah pada siapapun. Dia monster. Kejam! Tidak punya perasaan.
“Kamu jangan fitnah orang sembarangan Grace!” Bu Nancy kaget, tapi juga seperti tidak terima. Maklum, Bu Nancy memang sayang sama Jimmy. Bahkan sudah seperti anaknya sendiri.
“saya tahu ibu bakalan tidak percaya. Ibu sayang sama Jimmy. Jimmy banyak jasanya sama ibu. Saya juga anak baru disini. Ibu lebih lama kenal sama Jimmy daripada kenal saya. Tapi Demi Tuhan Bu, saya nggak bohong” hati saya sudah mantap.
Entah darimana datangnya kekuatan itu. Mungkin batu yang tadinya mengganjal siap dimuntahkan itu sekarang telah berubah jadi batu karang. Tumbuh menjadi benteng kokoh. Bukan untuk dimusnahkan lagi. Melainkan menjadi perlindungan yang menopang kekuatan saya. Kekuatan untuk membela diri sendiri dan mencari keadilan.
Tidak ada lagi rasa malu itu. Sirna sudah. Nasi sudah jadi bubur. Saya sudah kecebur dan basah. Kepalang tanggung. Kalau saya jatuh, lebih baik saya tarik Jimmy supaya ikut jatuh sama-sama! Saya nggak mau jadi pihak yang terus menerus dirugikan dan menangis. Air mata saya sudah kering. Tetesan terakhir nya baru saja terjadi didepan Bu Nancy. Tiba-tiba saya menjadi kuat.. Sangat kuat! Kesedihan berubah dalam sekejap menjadi amarah! Dendam! Ya, saya sangat ingin membalas dendam pada Jimmy! Bahkan pada semua laki-laki, kecuali papa saya.
Papa lelaki sabar dan setia. Pekerja keras yang tidak pernah mengeluh. Tidak juga melirik perempuan lain. Meski mama sering ngomel-ngomel kalau kekurangan uang, papa tidak pernah meninggalkan mama. Menjawab pun papa tidak berani. Paling hanya diam. Lalu mama berhenti sendiri. Kalau habis marah-marah, mama suka membuatkan papa kopi susu. Mungkin mama merasa bersalah tapi gengsi untuk minta maaf. Dan papaun tidak perlu mendengar permintaan maaf mama. Secangkir kopi susu adalah komunikasi tanpa bahasa diantara mereka berdua. Sungguh indah. Sungguh langka untuk jaman yang sudah berubah semakin edan ini.
Bu Nancy tidak percaya begitu saja. Iapun lalu menyuruh asistennya memangil Jimmy.
“Ingat ya Grace, kalau kamu bohong, awas!” Bu Nancy mengancam.
“Ibu mau tanya Jimmy? Sudah pasti dia akan menampik tuduhan itu bu! Mana ada maling yang ngaku maling!” ujar saya penuh keberanian. Betul kan, sudah tidak ada lagi rasa takut dalam diri saya. I’ve got nothing to loose anyway. Saya sudah akan dipecat. Dan ini satu satunya kesempatan saya untuk bebas dari pemecatan. Saya harus buktikan Jimmy yang memfitnah saya . Jimmy sudah mengancam saya. Malam itu, terngiang kata-katanya “Gue ngga mau lihat loe lagi. Ngga disini ngga di salon!” Apa itu bukan ancaman? Makanya setelah itu dia selalu cari gara-gara supaya saya dipecat. Supaya dia nggak perlu lagi melihat muka saya di salon tempat kerjanya.
Padahal apa salah saya sama dia? Bukannya dia yang punya dosa sama saya? Saya tidak mengambil apapun milik dia. Tapi dia sudah mengambil harta saya yang paling berharga. Kegadisan saya! Siapa yang akan mau menikahi saya nanti? Kalau kelak saya punya pacar, saya harus bilang apa? Bohong sampai malam pertama? Terus terang dengan resiko di putus hubungan? Saya sudah tidak punya harga lagi. Pantas kegadisan itu disamakan dengan “harga diri” karena begitu kamu kehilangan keperawanan kamu, hilang juga harga diri kamu.
Mungkinkah, Jimmy merasa bersalah pada saya? Mungkin dia tidak mau melihat saya lagi, karena saya memgingatkan dia pada rasa bersalahnya? Mungkin dia hanya gengsi mengaku salah, nggak mau minta maaf. Mungkinkah? Rasanya nggak mungkin. Dia memang kejam! Kejam dan egois. Karena begitulah sifat laki-laki! Seperti kata Yati kapster. Laki-laki memang egois! Mau enaknya sendiri. Nggak bisa bertanggung jawab atas perbuatannya.
Jimmy masuk. Gayanya santai seperti biasa. Seolah tidak terjadi apa-apa. Dia masih tetap ganteng dan gagah seperti biasanya. Pakai kaos putih rada ketat sehingga menunjukkan otot-ototnya yang kekar. Celana jeans juga ketat dengan sabuk metal. Di kantong-kantong saku jeansnya terselip peralatan penataan rambut. Berbagai macam sisir, jepitan dan lain – lain. Jimmy manager sekaligus top hairdresser di salon ini. Gajinya konon sudah sampai 5 juta sebulan. Belum termasuk tips-tips dan bonus-bonus lain. Kata Jimmy, dia kerja dengan sistim target. Jika dia melebihi target maka dia akan dibagi keuntungan oleh Bu Nancy.
Jimmy juga pernah bilang, kalau Bu Nancy sangat takut kehilangan dia.
“Kalau gue cabut, pindah ke salon lain, 50 persen langganan salon ini bakal ikut migrasi! Ikut sama gue!” kata Jimmy suatu kali. Ada nada sombong. Tapi waktu itu saya malah kagum. Saya percaya. Jimmy memang hebat. Sampai saat dia merenggut kegadisan saya tanpa rasa bersalah.
“Ibu panggil saya?”
“Duduk,” kata Bu Nancy.
Jimmy melirik kea rah saya. Seakan dia sudah bisa menebak apa duduk persoalannya.
“Saya dengar dari Grace, kalau kalian berkelahi? Benar?”
“Ibu liat aja sendiri…nih bekasnya masih ada” diluar dugaan saya, Jimmy tidak mengelak, dia mengakui bahkan menunjukkan bekas cakaran yang masih kelihatan itu. Luka cakaran yang mulai mongering, kulitnya mulai mengelupas meninggalkan bekas kehitaman. Saya agak kaget sebenarnya.
“Maksud kamu?” Bu Nancy jadi heran. Soalnya saya memang tidak menceritakan soal perkelahian fisik kami itu.
“Ibu bilang saya sama Grace berkelahi kan? Nih… dia nyakar saya! “
Bu Nancy melirik kearah saya.
“betul itu Grace?”
Saya tak kuasa berbohong. Kepala saya mengangguk.
“Tapi bu, masalahnya bukan soal cakaran! Luka cakaran bisa hilang diobati, tapi luka yang saya alami akan saya bawa seumur hidup! Ibu ngerti kan maksud saya?”
“Luka apaan maksud loe?” tanya Jimmy enteng“Yang ngelukain gue itu justru elo! Nih bekasnya masih ada! Barang bukti! Gue ngga nyakitin loe sama sekali. Kalo gue nyakitin loe, mana bekasnya? Buktiin?” Jimmy nyerocos “Bu, ibu liat kan ukuran badan saya? Kalau saya nyakitin cewek kaya Grace, dia ngga akan selamat bu! Minimal pingsan dan gegar otak. Saya ini gede badannya bu! Yak an bu?”
Bu Nancy jadi agak bingung. Saya akhirnya nyeletuk tidak sabaran. Juga karena pengaruh emosi yang meluap-luap. Sampai-sampai saya berdiri dari kursi.
“Pembohong kamu!!!” teriak saya kalap.
“Grace! “ bu Nancy memperingatkan saya.
“Kamu memperkosa saya! Kamu merenggut kegadisan saya! Itu luka yang akan saya bawa seumur hidup! Saya cacat! Cacat seumur hidup!”
“what???” Jimmy pasang wajah innocent. Saya yakin, kalau Jimmy profesinya actor, dia bisa dapat piala citra sebagai actor terbaik. Aktingnya sangat meyakinkan. Apalagi tampangnya yang memang mirip actor kondang Ari Wibowo. Membuat dia makin kelihatan seperti bintang film. Dan peran yang cocok buat dia bukan peran baik-baik seperti ari Wibowo – melainkan peran antagonis! Bajingan! Bandit!
“Saya bisa buktikan bu!” jerit saya nekad “ saya bisa buktikan dengan pemeriksaan dokter! Kalau saya sudah tidak perawan lagi gara gara dia!”
“Oh my God. Ini cewek bener-bener sinting Bu!” Jimmy menatap saya tajam “Kebejatan loe jangan loe salahin ke gue dong! Kalo loe udah ngga perawan, kenapa gua yang disalahin? Dokter emang bisa ngebukitiin tapi apa bisa dokter ngebuktiin kalau gue yang ngerusak slaput dara loe itu!”
Bahasa Jimmy mulai kasar. Seperti malam itu.
“Jimmy, sudah! Cukup! “ Bu Nancy sendiri sampai risih mendengar kata-kata Jimmy.
“Ngga bisa bu! Maaf kalau kata-kata saya jadi kasar. Soalnya ni cewek sinting! Eh Grace, loe ngga salah milih orang? Loe nuduh gue merkosa elo? Yang bener??? Semua orang disini tau siapa gue. Sama cewek aja gue nggak doyan! “


PART 4 - KLIK DISINI

KLIK DISINI UNTUK BACA BAB SEBELUMNYA

Hotel Room

No comments:

Post a Comment