Pengakuan Grace Sang Pramugari
Part 8
Paul Hannigan namanya. Dia terdiam saat saya menyebut namanya. Kata orang diam menandakan jawaban “ya”. Persetujuan tanpa suara. Saya tidak tahu kenapa dia mendadak diam. Mungkin dia malu. Tapi waktu saya berikan nomer telepon saya, senyumnya merekah lagi.
“you don’t mind?”
“don’t mind what?”
“I mean, now I look like a desparate guy. I am in a dating service” dia menggaruk-garuk rambutnya.
Malam itu, saya anggap kencan pertama saya. Sebab sebelumnya saya tidak pernah keluar sama cowok manapun. Satu-satunya cowok yang pernah pergu berdua saya hanya Jimmy. Bajingan itu. Itupun karena saya sempat mengira dia gay. Walaupun saya dan Paul hanya makan malam, rasanya luar biasa sekali. Karena ini yang pertama. Semua pengalaman pertama pasti berkesan. Walau mungkin ini juga merupakan kencan terakhir saya dengan dia. Yang jelas , malam itu saya bahagia. Saya tidak mengharapkan apa-apa. Sungguh. Saya sudah cukup tersanjung, ada seorang pria yang tidak mengenal saya, mengundang saya makan malam bersama.
Paul juga tidak melakukan apa-apa. Maksud saya, tidak ada sikap-sikap romantisnya. Atau yang menjurus-jurus kearah sana. Pokoknya tidak seperti kencan yang biasa kita tonton di film-film roman. Kami Cuma ngobrol. Kadang-kadang saya belajar bahasa inggris dari dia. Bahasa Inggris saya tidak jelek, tapi sering saya salah dalam “pengucapan”. Maklumlah, namanya juga lidah asia. Suka kagok kalau melafalkan bahasa orang barat.
Saya menceritakan sebagian hidup saya padanya. Tapi tentunya tidak bagian malam naas bersama Jimmy itu. Paul juga menceritakan sebagian masa lalunya. Bahwa ia pernah menikah selepas SMA dengan cinta monyetnya. Pernikahan yang tidak berusia lama. Katanya, waktu itu pacarnya hamil. Makanya ia bertanggung jawab dan menikahi wanita itu. Tapi kemudian wanita yang telah menjadi istrinya itu mengaku keguguran, sepulang dari menjenguk kelyarganya di mexico.
“She is Mexican? Wow… she must be pretty. Like…Salma Hayek! Or Pinelope Cruz!” saya membayangkan wajah wanita itu.
“Yeah, But she is a big fat lier” tukas Paul. Dia nampak masih sakit hati atas perbuatan mantan istrinya. Karena, setelah dia mengecek ke rumah sakit dimana mantan istrinya mengaku terpaksa menggugurkan kandungannya, terbukti bahwa semua itu hanya karangan belaka. Mantan istrinya tidak pernah datang d rumah sakit di mexico itu. Bahkan setelah di desak, sang mantan istripun mengaku, bahwa sebenarnya dia tidak pernah hamil.
“She was just using me,”
Paul merasa dimanfaatkan untuk kepentingan imigrasi mantan istrinya yang warga Negara Mexico itu. Saat sekolah, wanita itu hanya memiliki visa pelajar. Yang sebenarnya menurut Paul, bisa diproses menjadi visa kerja. Tapi mungkin karena malas, sang wanita ambil jalan pintas. Membohongi Paul untuk menikahinya. Sehingga otomatis proses kewarga negaraan barunya jadi lebih mudah.
“But… do you love her?” tanya saya penasaran. Saya tidak pernah membayangkan seorang pria bisa menikahi seorang wanita hanya atas dasar belas kasihan. Sekecil apapun, pasti ada cinta yang tersisa. Apalagi mereka pernah pacaran, Pacaran yang cukup intens tentunya. Kalau tidak, bagaimana mungkin Paul percaya kalau pacarnya itu hamil? Mereka tentu telah melakukan semuanya. Termasuk sesuatu yang mestinya hanya boleh dilakukan pasangan suami istri.
Mungkin di Barat sana hal itu sudah biasa. Saya sering lihat di film-film bagaimana cara pacaran orang bule. Melewati malam bersama setelah kencan pertama bukan hal yang tabu. Bahkan, seringkali sehabis minum-minum di bar sepasang pria dan wanita yang baru kenalan di barpun bisa pulang bersama. Karena pengaruh alcohol tentunya. Tapi dengan atau tanpa alcohol, semua itu agaknya sudah merupakan hal yang biasa. Waktu bangun keesokan paginya, tidak ada rasa bersalah atau canggung di wajah dua sejoli yang tidak saling mengenal tapi baru saja bermesraan itu.
Atau barangkali semua itu hanya di film-film saja? Hanya karangan? Mungkin sebenarnya tidak separah itu? Ah, tapi bukankah film itu merupakan potret sebuah jaman? Potret realita yang terjadi ditengah masyarakat umumnya?
Agak lama Paul tidak menjawab pertanyaan saya. Sayapun sudah sibuk dengan alam pikiran saya sendiri. Tentang bebasnya budaya di Barat sana. Saya tidak bisa membayangkan, hidup ditengah tatanan moral seperti itu. Tapi diam diam saya jadi berpikir. Mungkin masih ada harapan buat orang seperti saya. Orang yang di budaya timur sudah tidak punya harga diri lagi. Sebab di Barat sana agaknya keperawanan bukan lagi hal utama. Buktinya tidak pernah ada film barat yang topiknya tentang keperawanan yang terenggut. Ada juga soal perkosaan. Tapi tidak pernah saya nonton film barat tentang konflik suami yang kecewa atau menceraikan istrinya karena sudah tidak perawan lagi.
Mungkin di dunia sana saya masih punya harapan. Mungkin saya tidak perlu merasa terlalu hina dan kotor. Mungkin masih ada pria baik-baik yang bersedia menerima saya. Apa adanya. Dan mungkin saya tidak perlu lagi malu menutupi kejadian itu. Bukankah orang Barat lebih terbuka? Buktinya Paul. Baru beberapa jam ngobrol sudah leluasa menceritakan soal perceraiannya. Padahal buat saya kisah cinta itu sesuatu yang sifatnya privacy. Sesuatu yang akan saua simpan sendiri. Paling tidak, bukan hal yang akan saya jadikan topic pembicaraan dengan orang yang baru saya kenal.
Memang budaya timur agak tertutup. Agak kurang keterbukaan. Bukan Cuma perilaku masyarakat umumnya saja, tapi juga tercermin dalam cara pemerintah memimpin negaranya. Krisis keterbukaan. Semua serba tertutup, tersimpan, terselubung. Makanya mungkin karena itu jadi banyak korupsi puluhan tahun tidak ketahuan. Sampai sekarang ada KPK segala. Berapa sulit KPK itu menguak borok yang telah mendarah daging di negri ini? Berusaha menjebol dinding tirani ketertutupan yang telah begitu tebal.
Cara orang tua mendidik anaknya juga kurang terbuka. Saya mengalami sendiri. Mungkin papa dan mama saya termasuk orang tua yang terlalu disiplin dan kolot dijaman ini. Soalnya saya lihat orang tua beberapa teman saya tidak seperti itu. Mereka masih mengijinkan anak-anaknya berkencan. Keluar malam . bahkan ke diskotik sampai pagi. Tapi sebagian lagi masih menganut paham tradisional. Terutama untuk anak perempuannya. Yang saya maksud tertutup adalah mereka tidak pernah membicarakan soal sex secara terbuka pada anal-anaknya. Seakan – akan mereka membiarkan anaknya mencari tahu sendiri. Tapi kalau ketahuan baca buku porno atau nonton film biru pasti dimarahin. Padahal darimana lagi anak bisa belajar tentang sex? Kalau orang tua tidak pernah menjelaskan apa-apa. Seakan sex itu hal yang tabu. Mencari tahu sendiri pun dilarang. Pusing kan jadinya?
Barangkali karena itu di desa-desa terutama, jadi banyak gadis “kecelakaan”. Hamil diluar nikah. Dinodai kekasihnya. Dan untuk mengatasi semua itu, bukannya orang tua sadar dan memberi penyuluhan sex, malah anak perempuannya buru-buru dinikahkan. Kawin muda. Supaya tidak keburu hilang kegadisannya atau keburu hamil karena keluguannya. Sebetulnya itu bukan solusi terbaik. Tapi begitulah kenyataannya.
Mungkin juga, saya membiarkan diri saya hanyut di malam naas itu, karena rasa penasaran saya. Rasa ingin tahu karena tidak pernah diberi tahu. Jadinya coba-coba sendiri. Entahlah. Toh semua sudah berlalu. Sudah terlanjur. Buat apa juga menyalah-nyalahkan cara pendidikan mama dan papa. Kalaupun mereka mengaku salah, toh keperawanan saya tidak akan kembali seperti semula.
“I loved her. I did” tiba tiba saya dengar jawaban Paul. “But love will fade away, if you don’t look after it. Just like flower. If you forgot to water them, it will die slowly. “
Saya tidak pernah melupakan kata-kata yang kedengarannya sangat indah ditelinga saya itu.
“So you don’t love her anymore, now?”
Paul menggeleng.
“nope”
Ia meneguk sisa red wine yang masih ada di gelasnya.
“Shall we?”
Kamipun pulang. Saya diantar sampai kelobby hotel. Paul pulang naik taksi. That’s it. Hanya itu. Dia hanya menjabat tangan saya.
“Good nite. Thanks for spending an evening with me. I had a great time and I hope you do to”
Itu kata-kata terakhir Paul.
Malam itu, saya tidak bisa tidur. Saya gelisah. Sekitar satu – dua jam, saya hanya bolak-balik resah ditempat tidur. Saya nyalakan televisi, tapi tidak bisa juga berkonsentrasi pada acara yang ditayangkan. Berkali kali saya ganti-ganti channel. Berusaha mencari acara yang bisa mengalihkan kegelisahan saya itu. Sampai akhirnya saya putuskan untuk ke business lounge.
Disana, saya masuk lagi ke website online dating itu. Dimana saya melihat foto Paul dengan nama samara Pinky. Anehnya, saya tidak berhasil menemukannya. Bahkan ketika saya “search” dengan memasukan nama PINKY keluar pemberitahuan seperti ini : The member you searched had deleted his profile.
Delete? Kok bisa kehapus? Siapa yang menghapus? Mungkin Cuma kesalahan teknis. Komputer dan internet kan memang suka begitu. Tapi kemudian saya tahu dari Paul sendiri, bahwa dia langsung mendelete profilenya dari online dating itu. Kencan pertama itu bukanlah kencan terakhir. Bahkan merupakan sebuah awal dari persahabatan yang indah. Persahabatan yang lama-lama menbuat kami merasa saling memiliki. Saling ketergantungan.
Keesokan harinya, saat saya sudah siap untuk terbang, Paul menelpon. Dia berharap saya masih bersedia membantunya mencari kontrakan di Bali. Waktu saya bilang saya kurang paham soal Bali, iapun minta saya mencarikan kontrakan di Jakarta. Dan saya menyanggupinya. Saya agak kaget mendengar budget yang disediakannya untuk ngontrak. Paul menyebut 2500 dollar. Setelah saya hitung-hitung jumlah itu hampir 25 juta rupiah. Saya pikir, itu untuk sewa satu tahun. Ternyata Cuma untuk sebulan! Oh My God, 25 juta buat uang sewa sebulan?
Ternyata jumlah itu bukan junlah yang bombastis. Saya saja yang belum tahu harga pasaran sewa apartemen di Jakarta. Saya Cuma tahu harga kontrakan rumah sederhana. Rumah seperti rumah yang saya tempati sejak kecil. Akhirnya karena mencarikan apartemen buat Paul saya jadi tahu harga-harga. Termasuk jadi belajar banyak mengenai lokasi-lokasi apartemen yang termasuk “prestisius”. Yang biasa dihuni oleh orang asing atau “expat”.
Sejak itu, Paul juga kadang mampir ke Jakarta. Biasanya diakhir pekan. Lama-lama kitapun mulai janjian. Kalau saya pas libur, paul segera terbang ke Jakarta. Lama kelamaan lagi, saya sengaja ambil cuti hanya demi ketemu sama Paul. Dan kalau Paul tidak bisa ke Jakarta, maka dia akan mengirimkan tiket buat saya. Wow! Senang sekali rasanya! Dikirimin tiket! Dibelikan tiket! Walau tiket PP Jakarta – denpasar tidak lebih dari 2 juta rupiah, tapi saya tersanjung sekali! Selama ini belum pernah ada teman yang menghadiahi saya uang 2 juta!
Paul juga lumayan royal. Atau mungkin memang semua orang Barat seperti itu? Gentleman istilahnya. Dia tidak pernah mengijinkan saya membayar apapun. Pokoknya saya tidak boleh keluar uang sepeserpun. Bahkan waktu saya mau beli barang untuk keperluan saya sendiri, ia melarangnya.
“You are with me, so you are my responsibility” begitu selalu katanya. Dan sayapun semakin senang. Karena ini benar-benar pengalaman pertama buat saya. Padahal dia bukan siapa-siapa. Pacar juga bukan.
“Ah, nggak mungkin kalian nggak pacaran!” bantah Desi. Dia salah satu pramugari yang juga suka terbang bersama saya di rute Jakarta- Denpasar. Bedanya, home based Desi di Bali bukan di Jakarta. Desi sering melihat Paul menjemput saya di bandara ngurah Rai.
“Beneran!” bantah saya “Kita cuman berteman”
Desi menyeringai agak sinis.
“Hari gini. Mana ada cowok yang royal kalau belum dapat apa-apa?”
“Maksud kamu?” saya rada tersinggung mendengarnya. Apakah desi pikir saya mendapatkan semua ini karena saya tidur sama Paul?
“Kita sama-sama tahulah. Nggak usah jaim” tukas Desi sembari membedaki wajahnya.
“Jangan nuduh sembarangan! Kalau kamu seperti itu, itu urusan kamu des. Tapi jangan anggap saya sama dengan kamu!” ujar saya tegas.
Desi melotot mendengar ucapan saya. Dalam hati, saya yakin Desi tetap tidak percaya omongan saya. Tapi apa yang saya katakana itu benar. Hubungan pertemanan saya dan paul berjalan sekitar 6 bulan. Dan saya , Demi Tuhan, tidak pernah memberikan apapun. Paling hanya sun pipi kiri kanan saja. Atau pelukan saat akan berpisah. Itupun kami lakukan di depan umum bukan ditempat sepi dan tertutup.
Saya jadi ingat cerita mama soal pramugari. Saya beryukur karena saya tidak perlu menjual diri untuk mendapatkan apa yang saya dapat dari Paul. Paul memberikannya dengan ikhlas. Sayapun tidak pernah minta. Tapi bohong kalau saya bilang saya tidak menikmatinya. Awalnya saya suka risih, menolak. Tapi lama kelamaan jadi terbiasa. Menolakpun pasti dipaksa.
Suatu hari, saya ingat tepatnya di bulan desember, Paul datang ke Jakarta. Seharian dia sibuk di kantor cabang Jakarta. Baru malamnya kami bisa bertemu. Kami bertemu di sebuah restoran Jepang yang ada di lobby apartemennya. Saya berhasil mendapatkan Paul apartemen di Jakarta. Walaupun apartemen itu lebih sering kosong lantaran Paul lebih sering berada di Bali daripada Jakarta. Sebetulnya sayang juga, seperti buang-buang uang saja.
“My job is almost done,” ujar Paul malam itu. Wajahnya nampak lelah.
“You must be happy. Now you can go home to your country”
Paul menatap saya.
“Happy?”
Saya manggut. Apakah ucapan saya salah?
“Are you happy to see me leaving?” ia malah bertanya. Pertanyaan yang telak dan menyadarkan saya. Bahwa saya akan kehilangan dia.
“I will….miss you, I guess” ujar saya.
Paul menghela nafas.
“But you can still come and visit me , right? You love travelling” ujar saya lagi dengan nada menghibur.
“Only if you want me to”
Mulanya saya tidak paham apa maksudnya. Setelah beberapa saat baru aya sadar. Artinya, Paul akan datang jika saya memintanya. Jika saya merindukannya. Jika saya mengundangnya. Kira-kira begitu.
“Do you want me to come visit you?” ia menegaskan.
Saya terdiam
BACA LANJUTANNYA KLIK DISINI
BACA CERITA SEBELUMNYA KLIK DISINI
Tweet Hotel Room
Duuuuh,,,,penasaran bangeeeeed nech mbak,,,part 8'y lom ada juga,,still waiting nech,,,,,,
ReplyDelete.. can't wait to read next chapter to ending, cmmon mommy!!! :) ..
ReplyDeletesemangat mbaaakkk...tulis terus..kita ga sabar nihh...chayo..chayo.. :D
ReplyDeleteUdah Seminggu di tunggu2nii euy...:))
ReplyDelete