Pengakuan GRACE sang Pramugari
PART 7
Doa saya dikabulkan Tuhan. Yurike selamat. Lalu setelah Yurike selamat, doa saya berubah menjadi : Ya Tuhan jangan biarkan saya mengalami nasib seperti Yurike.
Dirumah sakit, setelah sadar, Yurike bercerita panjang lebar. Kali ini air matanya bercucuran. Padahal sebelum sebelumnya dia nampak cuek dan tegar. Seakan tidak perduli dengan masa depannya. Ternyata semua itu hanya karena pengaruh obat anti derpresi yang dikonsumsinya selama ini. Obat yang menolongnya untuk mengurangi beban perasaannya walau hanya sesaat. Dan malam itu Yurike mengaku terlalu banyak minum.
“Biasanya aku Cuma minum wine Grace. Tapi malam itu aku stress banget. Akhirnya Jack Di aku tenggak! “ (Jack Di adalah istilah untuk minuman whisky bermerek Jack Daniels)
Yurike pun akhirnya menceritakan semuanya sama saya. Kalau tadinya mungkin dia masih gengsi, sekarang gengsinya sudah lenyap. Dia tidak bisa lagi menutupi apapun dari saya. Bisa jadi juga karena dia merasa berhutang budi sama saya. Bagainanapun , ibaratnya, saya ini lah yang menyelamatkan dia. Kalau malam itu saya tidak datang, saya yakin staff bar itu nggak akan mau membawa Turike ke rumah sakit. Waitersnya aja ogah-ogahan begitu gayanya semalam. Paling mereka akan panggil polisi. Saat polisi datang bisa saja sudah terlambat!
“Siapa sih nama pacarmu itu mbak? “ tanya saya. Baru sadar kalau saya belum kenalan.
“Dave” kata yurike singkat. Tidak berniat memberitahukan nama lengkapnya sepertinya. “Aku ngga akan minta macem-macem kalau dia nggak janji Grace.”
“Dia pernah janji sama mbak?”
Yurike manggut.
“Dia bilang, dia sebanarnya nggak cinta sama istrinya yang di Bali itu. Makanya dia nggak mau punya anak dari istrinya itu. Dia janji akan menceraikan istrinya dan…menikahi aku Grace. Karena janjinya itulah aku…nekad. Aku biarkan diriku hamil…”
“Hah? Mbak…??? Hamil???”
“Sttthhh… kamu janji ya Grace. Ngga boleh ada orang lain yang tau!” tukas Yurike buru-buru. Dia ikut kaget melihat kekagetan saya. Mungkin dia pikir saya sudah tau semuanya dari Dave. Padahal saya belum tahu soal kehamilannya.
“Mbak hamil berapa bulan? Kok masih bisa terbang?”
“Sudah masuk bulan ke tiga Grace. Aku sudah mulai pendarahan. Dokter bilang aku harus cuti. Tapi aku nggak bisa cuti dulu Grace. Darimana penghasilanku kalau aku cuti? Sementara Dave nya juga belum jelas. Buat biaya periksa kandungan aja aku harus ngemis-ngemis kayak apaan aja. Padahal dia tau aku hamil anak dia. Terakhir… semalam…waktu aku desak, dia malah marah. Dia nggak percaya kalau anak ini anak dia…” Yurike terisak lagi. Matanya sudah bengkak karena menangis semalaman.
Dave lalu mengata-ngatai Yurike. Didepan orang banyak. Ya di bar tempat saya menemukan dia semalam itu. Dave mencela profesi Yurike. Terbayang bagaimana malunya Yurike saat itu. Saya yakin ada pengaruh alcohol juga malam itu. Orang yang sober (sadar tidak mabuk) rasanya tidak akan tega melakukan hal semacam itu. Apalagi terhadap orang yang disayangi. Walau mungkin Dave tidak benar-benar cinta, tapi pasti ada sedikit rasa. Bagaimanapun mereka sudah rutin berhubungan selama tiga tahun. Mana mungkin hubungan bisa berlanjut kalau tanpa ada rasa yang mengikat sama sekali. Atau …mungkin saja?
Saya jadi ingat lagi kata-kata Yati si kapster dulu. Semua laki-laki bajingan. Apa betul yang ada diotak laki-laki itu Cuma sex saja? Tanpa rasa sedikitpun? Apa betul laki-laki itu rela berdusta? Mengaku cinta bersumpah setia hanya untuk mendapatkan kenikmatan sekejap itu saja?
Kalau ingat cerita Tanti sih memang seperti itu. Pacaran setahun, begitu dapat kehormatan Tanti, si Ibet menghilang. Jangan-jangan bukan Cuma Tanti korbannya! Makanya Ibet harus buron karena takut dikejar-kejar para gadis korbannya yang menuntut tanggung jawab yang sama seperti yang dilakukan Tanti. Dan kalau itu benar, kalau semua gadis hamil dan menggugurkan kandungannya juga seperti Tanti, artinya ada berapa bayi tak berdosa yang dibunuh karena ulah satu lelaki itu?
Ya Tuhan. Saya lega sekali saat mendengar bayi dalam kandungan Yurike selamat! Walau ibunya hampir kehabisan darah, Tuhan rupanya masih memberikan kesempatan bagi Yurike untuk menjadi ibu. Memberi kesempatan pada bayi itu untuk terus hidup dan berkembang diharim Yurike.
Karena trauma saya pada cerita Tanti, sayapun tak kuasa menahan diri saya untuk menasehati Yurike.
“Mbak, saya mau ngomong sesuatu. Mbak jangan marah atau tersinggung ya. Saya bukan lancang, tapi…saya….”
“Katakan saja Grace…” Yurike memotong basa-basi saya itu.
“Jangan gugurkan kandungan mbak. Please. Jangan bunuh bayi yang nggak berdosa itu. “
Suara saya gemetar. Berat rasanya untuk mengucapkannya. Saya merasa saya ini sok tahu banget sok menasehati orang. Tapi dipihak lainpun saya merasa punya tanggung jawab moral untuk memberikan nasihat itu.
“Mbak sudah bersalah, hamil tanpa suami. Kalau mbak bunuh bayi itu, mbak akan makin berdosa lagi.” Saya kemukakan alasan saya sebelum Yurike membantahnya.
Yurike memegang tangan saya erat-erat. Digenggamnya tangan saya yang hangat itu ke dalam tangannya yang dingin.
“Terimakasih Grace. Saya janji, saya nggak akan gugurin kandungan saya. Saya akan besarkan anak ini walau tanpa suami. Saya akan tebus kesalahan saya melalui anak ini Grace…”
Tekad itu terdengar sangat meyakinkan. Saya peluk Yurike. Saya berdoa penuh rasa syukur. Saya pikir, saya telah menyelamatkan nyawa seorang anak manusia. Tapi ternyata saya salah besar. Yurike masih terus terbang sampai tiga bulan berikutnya. Dan saya perhatikan perutnya sama sekali tidak membesar. Setau saya, kalau sudah 6 bulan hamil ada peraturan wajib cuti. Mungkin saya salah atau lupa aturan cuti.
Sejak kejadian di Bali itu, Yurike sempat mengambil cuti seminggu lebih. Dalam beberapa rute saya tidak ketemu dia lagi. Dia digantikan oleh Imelda. Senior yang super judes. Kata co-pilot kami, si Imelda itu judes karena perawan tua. Dan pernah patah hati sama pacarnya. Konon pacarnya seorang pilot. Tapi Imelda ditinggal kawin sama pacarnya itu. Pacarnya yang pilot itu malahan gossipnya menikah sama seorang artis dangdut Indonesia! Entahlah. Nggak penting juga ngegosippin orang kan?
Suatu hari saya ketemu Yurike di bandara. Rute kamu berbeda. Dan saat itulah saya lihat perutnya masih rata. Padahal kalau dihitung seharusnya dia sudah masuk bulan ke 6 kehamilannya.
“Kok masih langsing aja nih?” sapa saya.
Yurike mendelik. Memberi kode bahwa saya harus diam. Sayapun sadar. Soalnya dulu memang Yurike berpesan agar jangan sampai ada orang lain tahu soal kehamilannya. Bukannya saya tidak bisa memegang rahasia. Tapi, sampai kapan Yurike bisa menutupi kehamilannya? Cepat atau lambat semua orang juga akan tahu kan?
“Sini…”
Yurike menarik saya ke pojokan yang agak sepi. Sementara kru lain masih menunggu pengecekan bagasi, kami sempatkan ngobrol walau hanya beberapa menit saja.
“Sorry, saya keceplosan”
“Makanya hati-hati kalo ngomong! “ sentaknya agak kesal “Asal kamu tau aja, aku sudah ngga hamil lagi”
“kamu…gugurin ?” Saya shock dan kecewa.
“ya iyalah. Aku kan belum nikah! Aku musti bilang apa sama perusahaan kalo tiba tiba hamil? Bakalan dipecat!”
Saya belum sempat menjawab. Yurike sudah meninggalkan saya, mengikuti rombongannya. Kelihatannya rute luar negri karena koper yang dibawa awak pesawat rombongan Yurike itu cukup banyak. Untuk rute local umumnya koper awak pesawat kecil-kecil. Koper besar menandakan rute mereka panjang dan rute panjang umumnya adalah rute internasional.
Saya gagal jadi juruslamat. Gagal mempertahankan nyawa bayi itu. Tapi apa juga hak saya meminta Yurike mempertahankan kehamilannya? Toh kalau bayi itu kahir, yang harus bertanggung jawab adalah Yurike. Yang harus cuti, yang harus melahirkan dan menyusui anak itu ya Yurike. Dengan kata lain yang susah nanti adalah yurike. Saya Cuma bisa memberi nasihat, sok jadi malaikat, tapi nggak akan ikut menanggung resiko dari nasihat yang saya berikan. Sungguh tidak fair. Tidak fair kalau saya kecewa. Atau merasa dibohongi oleh Yurike.
Hidup adalah pilihan, Dan Yurike telah membuat pilihan. Mungkin dia kuatir sama masa depannya. Atau masa depan anaknya juga. Dengan apa dia akan memberi makan dan menghidupi anaknya kalau dia dipecat dari pekerjaannya? Kasihan juga kalau anak itu kelak tumbuh tanpa ayah. Kalau sudah besar dan mulai bisa menanyakan ayahnya, Yurike akan terjebak dalam dilemma lagi. Begitu banyak hal dan pertimbangan yang dilakukan oleh seorang wanita yang hamil tanpa suami. Dan siapalah saya ini, saya belum pernah berada di posisi seperti Yurike. Maka saya tidak berhak protes atau sok tau.
Dalam hati, saya hanya berdoa supaya jangan sampai saya ditempatkan dalam posisi seperti itu. Jangan sampai saya hamil tanpa suami. Doa itu saya ucapkan terus. Sebelum take off dan saat landing. Saya bukannya minta selamat, malah minta supaya tidak hamil sebelum nikah. Artinya saya tidak akan punya anak karena tidak akan pernah ada lelaki yang mau menikahi saya. Ibarat barang, saya ini barang bekasan. Sudah tidak orisinil lagi.
Siang itu, seorang penumpang nampak kurang enak badan. Dari sejak take off dia bersin-bersin terus. Saya dekati dan saya tawarkan bantuan. Soalnya saya tau, kalau hidung lagi tersumbat karena pilek, terbang itu akan terasa menyiksa sekali. Tekanan udara kabin bisa membuat gendang telinga seperti mau pecah rasanya.
“Excuse me, do you need any help?” tanya saya dalam bahasa Inggris. Karena si penumpang itu jelas-jelas bukan orang Indonesia. Rambutnya kecoklatan. Dan saat ia menengadahkan kepalanya menatap saya, matanyapun kecoklatan. Wajahnya… sepertinya saya pernah lihat. Tapi …dimana ya? Mungkin dia actor terkenal yang sedang menyepi mau liburan tenang ke Bali? Kabur dari kejaran paparazzi? Wajahnya kok rasanya familiar sekali.
AHA!
“I got it!” teriak saya spontan.
Paul ikut tertawa walau tidak paham ama maksud saya.
“Got what?” tanyanya heran sambil mentertawakan saya.
“I’ve seen you before! Your nick name is Pinky! Rite?” ujar saya mantap dan yakin.
Paul terdiam. Tiba tiba senyum itu lenyap dari wajahnya.
LANJUTANNYA KLIK DISINI
BACA CERITA SEBELUMNYA KLIK DISINI
Tweet Hotel Room
No comments:
Post a Comment