PENGAKUAN SANG PRAMUGARI
PART 4
Seumur-umur saya tidak menyangka akan terlibat dalam masalah hukum. Dari kecil juga sangat tidak suka sama yang namanya pengacara. Kalau perlu nggak usah berhubungan sama yang namanya pengacara. Trauma. Waktu bengkel papa dan om Awi itu bangkrut, papa sempat urusan sama pengacara. Papa sih nggak mau cerita, karena kuatiw anak-anak ikut stress. Atau bahkan takut, namanya juga kita masik kecil-kecil. Mendengar kata pengadilan pasti terkesan “menyeramkan”. Identik dengan penjara. Di dunia pikiran anak-anak kecil yang masih naïf, orang-orang yang berurusan dengan pengadilan hanyalah pelaku criminal. Penjahat.
Di dunia nyata sebenarnya kebanyakan justru orang yang tidak bersalah yang masuk penjara. Soalnya orang-orang yang punya uang dan salah bisa melakukan segalanya. Maaf, ini fakta sekaligus pengalaman pribadi. Karena om Awi itu lebih punya uang, makanya dia bisa menuntut papa sampai harus membayar berlipat ganda. Melebihi modal papa sebenarnya di bengkel itu. Sementara papa, yang merasa Om Awi tidak menepati janji untuk mengurus operasional, tidak bisa berbuat apa-apa. Saya rasa semua juga sudah tahu ya, dari kasus-kasus besar yang terjadi di Negara ini. Dari kasus-kasus orang terkenal yang melibatkan uang puluhan bahkan ratusan Milyar. Bahkan uang Negara sendiri yang raib sampai sekarang belum tuntas di utus sampai KPK regenerasi tiga kali.
Semua fakta yang saya alami merujuk saya untuk percaya pada UUD. Ujung-Ujungnya Duit. Dan saya semakin yakin dengan prinsip dan cita-cita saya. Saya mau jadi orang kaya. Terserah orang mau sebut saya matre atau apapun. Hidup saya ini milik saya. Saya berhak menentukannya sendiri. Lagipula kalau saya kaya nanti, mereka akan berhenti mencibir. Mereka akan berlomba-lomba ingin jadi sahabat saya. Saya yakin itu. Kalau orang miskin matre, di omongin. Tapi kalau orang miskin itu dapat loetere jadi kaya, akan dikerubutin. Tidak ada orang yang tidak suka uang. Tidak ada orang yang tidak mau jadi kaya.
Setelah disidang secara tidak resmi di hadapan Bu Nancy, saya akhirnya dipecat juga. Bahkan disidang beneran karena saya mengamuk di ruangan Bu Nancy dan melukai kepala Jimmy dengan vas bunga Kristal. Vas bunga itu, anehnya tidak pecah. Tapi telinga Jimmy mengalami pendarahan dan pelipisnya mendapatkan 10 jahitan. Sejujurnya, buat saya 10 jahitan dan pendarahan kuping itu belum cukup untuk melunasi dosa dia pada saya. Dia telah merenggut masa depan saya! Rasanya tidak akan ada nilai yang pantas untuk menuntaskan dendam saya pada Jimmy. Sayangnya, saya tidak bisa membuktikan kejadian malam itu.
Mungkin , setelah saya pikir-pikir lagi, mestinya saya panggil polisi detik itu juga. Bukannya malah nurut di usir pergi oleh Jimmy. Tapi kala itu saya sedang galau sekali. Tidak terpikir sama sekali untuk memanggil polisi. Saya tidak punya saksi, begitu kata pengacara saya. Bahkan, sepertinya pengacara saya sendiri nggak percaya sama cerita saya mengenai malam naas itu. Karena semua orang taunya Jimmy itu gay. Mana ada gay meniduri perempuan? Dan Jimmy punya saksi, kekasihnya yang sesame jenis itu. Jimmy juga tidak malu membeber fakta bahwa dirinya kaum pecinta sesama pria.
Hari itu saya sudah bersiap-siap untuk siding. Penghasilan saya empat bulan ludes untuk membayar pengacara. Pengacara mana yang mau kerja tanpa downpayment? Apalagi dimata mereka, saya ini salah dan sangat butuh pembela. Tapi ditengah kenaasan itu muncul suruhan Bu Nancy. Asistennya. Namanya Yudit.
“Siang mba Grace” Yudit menyapa. Bajunya rapih, warna pink pastel. Kelihatan sangat feminine sekali dan pas untuk badannya yang tinggi langsing itu.
“Mba Yudit?” saya agak kaget. Soalnya selama ini saya tidak begitu akrab sama Yudit.
“Ini ada titipan dari Ibu” Yudit memberikan sebuah amplop. “Ibu juga pesan bahwa Jimyy sudah membatalkan tuntutannya. Jadi mbak nggak usah ke pengasilan. “
“Lho, kok bisa?” Saya masih shock. Belum bisa mencerna berita itu dengan baik.
“Bu Nancy sudah mengatur semua sama mas Jimmy. Mbak tenang saja. Ya? Baca saja itu surat titipan Ibu. Ibu nunggu khabar Mbak sekarang juga. Saya pamit ya mbak”
Kehadirah Yudit yang Cuma kurang dari 10 menit itu kemudian mengubah seluruh hidup saya. Jimmy mencabut tunutannya, karena Bu Nancy berhasil bernegosiasi dengan sebentuk imbalan. Entah apa imbalannya. Baik hati sekali bu Nancy. Saya pikir dia berpihak pada Jimmy, ternyata tidak. Bu Nancy masih kasihan sama saya.
Di dalam amplop, ternyata ada sebuah surat dari Bu Nancy yang juga mengubah jalan hidup saya. Satu lembar surat pribadi dan satu lembar surat keromendasi dari beliau untuk seorang kepala HRD sebuah maskapai penerbangan di Jakarta.
Dear Grace,
Pertama kali kamu masuk ke salon saya, kamu sudah mengingatkan saya pada diri saya sendiri waktu saya seusia kamu. Cantik tapi masih mencari-cari makna hidupnya. Jujur, saya jatuh hati sama kamu pada pandangan pertama. Saya bukan lesbian . Saya seperti melihat pantulan diri saya sendiri. Saya juga tidak punya anak, Grace, mungkin itu yang membuat saya menganggap kamu seperti anak saya, karena kamu sangat mirip dengan saya.
Saat usia saya sebaya kamupun saya masih dalam kebimbangan. Tak begitu paham kemana kaki ini akan melangkah. Mengalir begitu saja mengikuti takdir. Takdirlah yang membawa kamu ke salon saya. Takdir mempertemukan kita. Dan takdir juga yang memisahkan kita.
Maaf saya terpaksa memecat kamu. Demi kebaikan kamu juga. Karena client saya mengancam akan menuntut kamu dan salon saya. Tapi saya akan bayar semua itu dengan memberikan kamu sebuah masa depan yang lebih baik. Dan saya yakin, insting saya tidak pernah salah, kamu pasti sukses menjadi pramugari. Seperti saya dulu…
Segera temui Pak Erik. Bawa surat rekomendasi dari saya. Mudah-mudahan kamu segera bisa terbang. Melanglang buana. Mencari masa depan dan jalan hidup kamu ke tempat yang lebih luas….
Salam sayang
Nancy
Jadi pramugari? Tidak pernah terpikirkan sama sekali! Naik bis sajasaya mabuk darat, apalagi terbang? Saya juga belum pernah merasakan terbang jauh. Dulu pernah tapi hanya ke Jogya. Itupun hanya sekali, menjenguk keluarga papa yang meninggal disana. Karena harus segera menghadiri pemakaman, makanya papa memutuskan naik pesawat bukan naik kereta atau bis seperti biasanya.
Tapi dalam hati, saya cukup kaget mendapat kesempatan ini dari Bu Nancy. Sangat tidak menyangka, kalau Bu Nancy diam-diam memperhatikan, bahkan menyayangi saya. Katanya saya mirip dengan dirinya. Apa artinya kalau sudah tua nanti saya akan seperti Bu Nancy? Not bad. Bu Nancy, untuk wanita seusianya terlihat masih sangat cantik. Sangat terawatt. Tapi dalam hati saya berharap, mudah-mudahan bukan Cuma fisik saya saja yang kelak mirip Bu Nancy, tapi juga nasib saya.
Teringat lagi saya pada kisah Bu Nancy. Dulunya pramugari. Ketemu jack pot, terus jadi nyonya besar dan sekarang pengusaha. Luar biasa sekali! Di saat orang lain masih stress menjalani kuliah, Bu Nancy sudah melanglang buana. Gratis pula! Di saat mahaiswa baru pada lulus kuliah, Bu Nancy sudah ketemu jodoh , seorang pengusaha kaya mantan penumpang pesawatnya. Di saat karyawan-karyawan berjuang untuk kenaikan jabatan dan gaji, Bu Nancy sudah buka perusahaan sendiri. Sungguh hebat dan hemat waktu! Ini resep instan untuk mewujudkan cita-cita saya!
Selesai menganalisa, sayapun tidak buang-buang waktu. Segera saya temu si Pak Erik itu. Surat Bu Nancy agaknya cukup sakti. Hari itu juga saya disuruh mengisi formulir dan melengkapi beberapa persyaratan yang dibutuhkan. Lalu Pak Erik menjelaskan dengan singkat tapi cukup jelas, bahwa saya harus mengikuti training selama lebih kurang 4 bulan di sebuah sekolah fligh attendant yang sudah bermitra dengan maskapai penerbangannya itu. Setelah itu saya boleh mulai kerja dengan status magang atau “trainee”. Cuma 4 bulan! Mana ada kurus sesingkat itu yang bisa menjamin langsung dpaat kerja?
Kuliah saja minimal 4 tahun. Kursus-kursus lain seperti akunting, book keeping, marketing juga tahunan sebelum bisa mendpaat sertifikat. Belum lagi setelah itu harus cari kerja sendiri! Saingannya banyak! Sebelum dapat kerja mungkin harus menulis puluhan CV dulu sampai salah satunya ada yang berhasil. Harus keluar ongkos dulu untuk mondar-mandir interview. Sedangkan jadi pramugari, hanya sekolah 4 bulan sudah bisa langsung “on board” begitulah istilahnya. Dan dengan surat rekomendasi sakti Bu Nancy ini saya sudah pasti diterima!
“Ada pertanyaan?” tanya pak Erik setelah menjelaskan semua prosedur.
“Mh… biaya pendidikannya, berapa ya Pak?” tanya saya kuatir. Soalnya uang tabungan saya hampir habis untuk bayar pengacara. Dan itu adalah down payment yang tidak bisa dikembalikan. Bahkan, kalau kasus nya terus bergulir, saya masih harus menambah biaya pengacara itu. Untungnya kasus itu dicabut. Walau uang saya tidak akan kembali, minimal saya tidak harus pinjam uang orang tua untuk membiayai pengacara.
“Biayanya sekitar 15 jutaan lah, kurang lebih” sahut pak Erik enteng.
GLEK.
“lima belas juta pak?” saya menelan ludah. Darimana saya bisa dapat uang sebanyak itu? “Nggak harus sekaligus kan pak? Maksud saya…bisa dicicil? Bulanan? Atau semesteran seperti kuliah?” tanya saya penuh harap.
Pak Erik menatap saya. Keningnya berkerut.
“Kenapa kamu pusing?”
“Soalnya saya nggak punya uang sebanyak itu Pak. Saya baru kehilangan pekerjaan saya”
“Kan Bu Nancy yang atur semuanya?”
“Bu Nancy?” Gantian kening saya yang berkerut.
“Iya. Barusan dia sudah telepon saya juga kok. Saya sudah bicara sama Bu Nancy sebelum kamu datang kemari”
“Jadi?”
“Jadi biaya pendidikan kamu semua sudah diberesin sama Bu Nancy. Kamu tinggal daftar kesana. Data kamu semua nanti saya yang urus dari sini. Pokoknya tau beres. Tinggal urus admin ke sekolah itu. Selesai deh” Pak Erik menutup foldernya. “ada pertanyaan lagi?”
“Mh…nggak pak. Trimakasih”
“Jangan terimakasih sama saya. Terimakasihnya sama Bu Nancy. Kamu sudaranya Bu Nancy ya? “
Saya menggeleng
“Bukan. Saya pernah kerja sama beliau”
“O. Kok wajahnya mirip-mirip ya?” Pak Erik menatap saya agak tajam. Sayapun membalasa tatapan itu. Baru sekarang saya perhatikan kalau Pak erik usianya kira-kira juga sebaya dengan bu Nancy. Mungkin dulu mereka rekan sejawat? Mungkin Bu Nancy pernah jadi pramugari di maskapai yang sama?
“Bapak kawan lama Bu Nancy?” saya memberanikan diri bertanya.
“Ya. Dulu saya juga awak pesawat. Sering terbang satu rute sama Nancy “ Pak Erik tersenyum. Ada kenangan dalam senyum tipisnya itu. “Tapi saya meneruskan kuliah saya. Begitu lulus jadi sarjana psikologi, saya melamar jadi HRD di perusahaan yang sama. Nggak terbang lagi. Cape”
“O. Jadi meski sudah kerja sebagai pramugari, masih bisa kuliah juga ya pak? Bapak hebat. Pekerja keras!” puji saya jujur. Saya sendiri tidak akan mampu melakukannya. Kerja sambil kuliah? No way. I want to enjoy my life.
“Bener deh, wajah kamu mirip banget sama Nancy. Tadi saya pikir kamu anaknya. Bener, bukan saudara?”
“Bu Nancy nggak punya anak pak”
“Punya. Tapi meninggal…”
“O.” saya kaget lagi.
“Kamu nggak tau?”
Saya menggeleng.
“Wah, kalau gitu saya keceplosan” tukas Pak Erik. “jangan bilang Nancy kalau saya nyebut soal anaknya ya? Dia ngga suka bicara soal anaknya. Janji ya?” Pak Erik sepertinya kuatir.
“janji pak. Makasih pak, saya permisi”
Langkah saya terasa sangat ringan. Seolah-olah rasanya saya ini sudah terbang tinggi! Padahal mengikuti pendidikan saja belum! Tapi entah kenapa saya sudah punya firasat bahwa saya sudah selangkah lebih dekat pada cita-cita saya! Firasat itu makin kuat, setelah saya mencari-cari informasi mengenai dunia pramugari. Berapa penghasilannya, bagaimana gaya hidupnya dan bagaimana ritme kerjanya. Semua terdengar asyik! Nggak sulit sama sekali. Apalagi, memang saya berniat untuk mandiiri. Sudah tidak betah tinggal sama orang tua. Dengan jam terbang yang tinggi, saya akan jarang dirumah! Saya bisa menikmati kamar hotel! Jarang-jarang saya nginap di hotel.
Pakaian seragam pramugari juga rata-rata keren. Sexy. Anggun tapi juga sexy menurut saya. Dan semua pramugari itu wajahnya juga selalu cantik. Jarang ada pramugari yang wajahnya amburadul. Pasti di pendidikan nanti juga saya akan diajarkan cara dandan, pikir saya. Dan saya sudah punya bekal urusan merias diri. Aneh juga, kenapa nggak dari dulu saya berpikir untuk jadi pramugari ya? Bahkan tidak terlintas sama sekali.
“apa??? Pramugari???” pekik mama begitu mendengar cerita saya.
“Iya ma! Hebat nggak? Gratis lagi sekolahnya! Cuma 4 bulan! Habis itu Grace langsung kerja! Langsung ke luar negri! Melanglang buana gratis!” ujar saya dengan riang gembira.
Wajah mama langsung murung. Jelas kalau mama tidak setuju.
“Ma?” saya heran. Buat saya ini sebuah keberuntungan, yang harus di syukuri bukan untuk disesali. Apalagi ditampik!
“Mama ngga setuju”
KLIK DISINI UNTUK LANJUTAN PART 5
BACA CERITA SEBELUMNYA KLIK DISINI
Tweet Hotel Room
hehehehehe....nanggung...mo baca lanjutannya, masih diketik
ReplyDeletekeren lho mba,, :)
ReplyDeletekerenn mba. sya pernah sekolah tpi slah sasaran atau memang tidak berjodoh sya bkerja di stu. tpi skrang sya msih ingin dan berniat sekali dan bingung ma kya gmna :(
ReplyDeleteDear Zara,,, terima kasih ya.... aku suka kata2 kamu yg diatas blog itu,... everythng happens for a reason... have a wonderful life ;p
ReplyDelete