Monday, July 18, 2011

TAKDIR ITU TIBA TIBA TIDAK TERASA INDAH

Part 2

Kanker rahim? Kedegarannya memang serem banget. Kanker gitu lho! Tapi di jaman yang serba cepat kaya gini, siapa sih yang bener-bener akan care sama orang yang menderita kanker? Paling juga kaget beberapa detik. Nyebut “astafirullahalazim” atau “kasihan banget…” . Tapi Cuma itu. Paling banter, kalau kenal sama yang bersangkutan, paling ngirim BBM atau SMS tanda ikut prihatin. Habis itu? Kita semua sibuk lagi sama dunia kita. Dunia yang penuh tuntutan, keinginan-keingnan yang belum tercapai, impian impian yang masih harus dikejar. Ya ngga salah juga kalau kita semua jadi sibuk. Kan katanya hidup ini singkat. Kita ngga ada yang tahu kapan hidup ini akan diambil dari kita. So, ngga salah kalau kita berlomba dengan waktu. Meraih impian kita secepat mungkin.
Rida juga musah punya sejuta impian , cita cita bahkan hutang yang ia belum lunasi pada almarhum ayannya. Target menambah cabang perwakilan perusahaan. Memperbesar kapasitas pabrik saat ini menjadi tiga kali lipat. Menjadi supplier ketiga terbesar di Asia. Tapi mungkinkah impian itu ia capai dengan waktu hidupnya yang kini menjadi terbatas dengan dugaan dokter tentang kanker yang menjadi biang keladi dari ngilu berkepanjangan diperutnya selama ini?
“kanker dok?” pekik Rida tertahan.
“Itu baru dugaan saya saja Rida. Jangan panic dulu” sahut dokter Amir tenang.
“oom sih ngga panic karena udah biasa menghadapi orang sakit kanker! “ seru Rida jengkel. “dan om belum pernah mengalaminya sendiri”
“Tapi om tau persis apa yang dirasakan penderita kanker. Om sudah menyaksikan banyak kematian karena kanker. Dan semua itu lebih berat. Menyaksikan kematian itu lebih menyakitkan daripada yang meninggal itu sendiri” ujar dokter Amir tegas.
Rida jadi terdiam. Betul sekali kata Om Amir. Rida ingat waktu ayahnya meninggal dunia. Di saat terakhir ayahnya malah tidak merasakan apa-apa. Almarhum papa rida memang meninggal dunia dengan sangat tenang. Dalam tidurnya. Memang tidak ada yang tau walau kelihatan tenang, pasti ada momen perjuangan melawan sakratul maut. Tapi yang jelas, rasa sakit memang lebih dirasakan pada pihak pihak yang ditinggalkan. Orang yang meninggal justru sudah bebas, lepas dari problem dunawi, melayang menghadap ke sang Maha Pencipta. Sementara yang ditinggal, yang menyaksikan kematian itu malah menangis berminggu minggu bahkan berbulan bulan dan tak jarang yang menyimpan trauma.
“Kamu harus melakukan pemeriksaan lebih lanjut . nanti om buatin surat pengantarnya ke Singapore”
“kenapa harus ke Singapore om?”
“disana peralatan dan lab nya lebih canggih. Tenaga medisnya juga lebih terlatih”
“Masa ngga ada rumah sakit di Indonesia yang sama bagusnya sih?” protes Rida. Pasalnya Rida memang cinta tanah air. Ia menjiawi betul perannya sebagai pemilik pabrik onderdil dan mesin berat. Sebagai produsen, ia ingin masyarakat mencintai produk dalam negri. Makanya Rida berusaha menerapkan prinsip cinta produk dalam negri itu juga dalam kesehariannya. Bukan Cuma berkoar-koar menyuruh konsumen saja tapi sendirinya malah lebih rajin belanja di luar negri. Kan banyak orang seperti itu sekarang ini. Bapaknya jualan kacang dan mie instant dengan slogan cintai produk dalam negri. Tapi anak-anaknya malah lebih suka menikmati beef wagyu steak import dari new Zealand atau Australia. Wine dari Perancis. Pakaian dan asesoris buatan paris bukannya batik buatan pengrajin di pedalaman jawa .
“Om hanya ingin yang terbaik untuk kamu. Semua terserah kamu. Kalau kamu periksa di Jakarta saja juga ga papap” sahut dokter Amir menyerah.
“Rida ikut kata om aja deh” akhirnya Rida sendiri menyerah.
Pasalnya ini soal nyawa. Soal hidup dan mati. Soal janji janji peribadinya pada almarhum ayah. Rida tidak mau mati dulu . Bukan karena dia takut mati tapi karena dia merasa masih punya hutang. Masih mau membuktikan pada keluarga bahwa walau dirinya anak perempuan, ia tetap mampu menjadi pemimpin perusahaan.
“Oke om pulang dulu ya. Kalau sakit obatnya diminum. Surat pengantar besok om kirim ke kantor? Atau kerumah?”
“kekantor aja om”
“permisi. Asalamualaikum” pamit dokter Amri
“Alaikum salam. Eh..om!” panggil Rida.
Langkah om Amir terhenti.
“om janji ya,”
“Janji apa?”
“Jangan bilang sama siapapun. Termasuk Mama…” pinta Rida.
Dokter Amir mengangguk.
Rida lega. Ia tersenyum. Tapi begitu dokter Amir keluar, air mata Rida mulai menetes.  Makin lama makin deras saja kucuran air matanya. Belum apa-apa ia sudah kalah set. Padahal baru juga dugaan . Semua kan masih harus diperiksa lagi. Tapi siapa sih yang ngga panic dan freak out mendengar dirinya di duga mengidap kanker?
Semua orang juga tau kalao kanker itu penyakit yang paling susah diobati. Bahkan konon juga belum ada obatnya. Yang ada hanya terapi terapi. Ada beberapa yang dinilai cukup sukses seperti kemoterapi atau laser terapi atau operasi. Tapi umumnya, kanker yang sudah teratasi belum menjamin kesembuhan total.
Rida pernah membaca soal kanker saat ia kuliah dulu. Salah satu dosennya mister Haniggan, harus pensiun karena menderita kanker. Kemudian dinyatakan sembuh dari kanker paru paru setelah menjalani kemoterapi. Setahun mister Haniggan mengajar lagi. Tapi kemudian kanker baru muncul lagi menggerogoti tempat yang sama. Paru paru. Kali ini paru parunya sampai harus diangkat. Karena tubuhnya tak kuat lagi kalau harus menjalani kemoterapi. Ia bahkan kena penyakit anemic (kekurangan darah merah) gara gara kemoterapi. Rambutnya juga belum tumbuh lagi sejak terapi setahun lalu itu. Efek samping kemoterapi begitu dashyat. Menurunkan daya tahan dan stamina tubuh mister haniggan. Bahkan setelah operasi dan sebagian paru parunya diangkatpun tubuhnya menyerah. Mister haniggan meninggal dunia 3 bulan setelah operasi. Setelah dinyatakan bebas kanker malah meninggal.
Pengalaman itu juga yang membuat Rida makin ciut nyalinya menghadapi kemungkinan itu. Untung BB nya tiba tiba berbunyi. Sebuah pesan masuk. Sesaat Rida jadi terlupa dengan kesedihan dan ketakutannya. Segera ia mengangkat BB Torch Hitamnya, kuatir panggilan itu dari kantor. Pekerjaan adalah segalanya bagi Rida.
Ternyata yang masuk bukan BB message melainkan sebuah SMS dari nomor yang tak dikenalnya. Rida membuka dan membbacanya.
Pesan itu berbunyi : Maaf Bu. Ini Helena. Mau memastikan, kalau ibu baik baik saja.
Ternyata Helena, gadis dari perusahaan yang menawarkan diri menjadi partner kerja perusahan Rida. Care banget cewek satu ini, pikir Rida. Memang wajar sih kalau sebuah perusahaan ingin mendapatkan tender atau kontrak , biasanya akan berbasa basi manis manis. Tapi biasanya rayuan dan pedekate dilakukan dengan memberikan upeti. Bunga, parcel dan sebagainya. Bukan dengan cara memberi perhatian seperti ini. Bagi Rida cara Helena ini unik. Bahkan terkesan tulus.
Rida lalu membalas.
“Saya baik baik saja. Thanks”
Tak lama muncul lagi jawaban Helena
“Tadi ada berkas ketinggalan dikantor. Waktu saya balik lagi, ibu diangkut ke mobil seperti pingsan. Saya jadu cemas mikirin ibu”
Astaga.
“Im fine. Thanks. Don’t worry” balas Rida lagi.
Rupanya Helena balik lagi dan melihat Rida dibopong ke mobil dokter Amir. Rida memang sampai setengah pingsan dikantor barusan saking ngga tahan sama rasa ngilu diperut bagian bawahnya itu.
“Jaga kesehatan Bu. Saya juga workaholic sama kaya ibu tapi kesehatan tetep harus dijaga.”
Sebuah SMS masuk lagi.
“makasih. “
Rida menjawab pendek.
Posisinya sebagai direktur sekaligus pemilik perusahaan memang kadang membuatnya terbiasa jaim. Apalagi sama orang seperti Helena yang statusnya cumma karyawan. Sama sesame direktur saja Rida terkesan jutek. Ngga suka basa basi. Baa basi buat Rida Cuma buang buang waktu. Waktu yang begitu berharga untuk kerja.
Tapi entah kenapa sama Helena hati Rida sedikit terusik. Selama ini belum pernah ada karyawan yang berani sok akrab begini pada Rida. Bahkan karyawannya sendiri ngga pernah ada yang berani meng SMS dirinya. Kecuali soal pekerjaan. Mereka semua cenderung ngga mau ikut campur sama urusan pribadi bossnya. Mungkin sih dalam hati mereka perduli tapi rasa keperdulian itu tak pernah diungkapkan. Helena terkesan apa adanya. Ceplas ceplos.
Baru kali ini Rida ketemu gadis muda seperti Helena. Secara professional sebetulnya Rida menganggap Helena agak kurang professional. Ngga wajar dan ngga pantaslah mengirim SMS soal pribadi begini. Apalagi baru kenal. Tapi sebagai manusia ia merasa terharu. Baru satu orang yang menyatakan keprihatinannya. Cuma Helena.
“Rida…”
Bu Sari muncul dari balik pintu. Pakaiannya masih rapih. Berkain kebaya. Bu Sari memang elegan . walaupun istri boss , beliau tetap mempertahankan cara busananya. Semenjak masih perawan ting ting sampai menikah, punya anak dan jadi istri salah satu pengusaha terbesar di Indonesia, bu Sari masih setia sama kebaya dan kainnya. Kebayanya juga bukan kebaya mahal mahal buatan desainer ternama yang harganya jutaan rupiah. Bu Sari masih setia membeli bahan di toko tekstil dibilangan meelawai. Langganannya sejak keluarga mereka masih menetap di jalan sambas kebayoran baru. Meski kemudian pindah ke bilangan menteng, Bu Sari masih setia sama toko tekstil milik orang Bombay itu.
Semua bahan kebaya dibelinya disana. Dijahit sama Bu acih, penjahit kecil yang punya kios di Cikini. Bu Acih biasanya dipanggil kerumah buat mengukur. Kain bu Sari juga semua buatan pengrajin kecil di jawa tengah. Kalau pulang kampung Bu Sari suka memborong hasil karya para pembatik binaanya itu. Kadang dengan uang 5 juta bisa mendapatkan kain batik tulis sampai 50 potong. Kasihan sekali nasib pengrajin batik kecil. Saking ngga taunya harus menjual dan menyalurkan kemana. Lama lama budaya batik bisa punah karena tak ada pasarnya lagi.
“Rida kamu kenapa?” tukas Bu Sari membuyarkan lamunan Rida.
“Eh Rida ngga apa-apa Mah. Mama baru pulang ya?”
“Iya, tadi ada pengajian di rumah tante Prima. Kata Ira barusan om Amir kemari? “
“Mh…” Rida mencari alasan. Rupanya dia keduluan sama Ira. Dasar pembantu rempong, bathin Rida.
“Kamu dianter sama om Amir? Kok mobil kamu ngga ada?” tanya Bu Sari lagi. Agak curiga nadanya.
“Iya tadi mh…ada urusan sama om Amri jadi om nyetirin Rida pulang”
“Urusan apa?”
“Mh… soal.. itu Mah. Om minta hasil rontgen Rida”
“Untuk apa?” jawaban Rida malah membuat bu Sari makin curiga.
“Ngga buat apa-apa kok mah. Cuma buat pemeriksaan rutin aja. Mamah juga sudah harus cek up lagi lo. Kan udah 8 bulan sejak terakhir mama cek up?” Rida mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Ah mama sehat sehat aja kok. Ngapain cek up cek up melulu. Buang uang aja. Mana mahal lagi.. Mendingan uangnya buat ngasih makan anak yatim. Dapat pahala. Kesehatan kita nanti didoakan sama anak yatim” ujar Bu Sari yang emang amat percaya sama yang namanya karma. Karena itu beliau hobby banget memberikan  santunan, makanan dan macam macam ke panti panti asuhan. Bahkan di Bali beliau punya yayasan sendiri yang menampung sekitar 30 anak yatim dan yatim piatu. Kalau kebanyakan orang suka sebel didatangi peminta sumbangan, Bu Sari sebaliknya. Dia malah seneng. Kadang sipeminta sumbangan itu sampai diajak masuk diajak ngobrol dan disuguhin macem macem seperti tamu. Udah gitu dikasih duit banyak pula.
“Eh mamah sampe lupa, nanti malam ada undangan makan malam. Kamu ikut ya?”
“Sama siapa?” rida agak malas. Soalnya selain merasa kurang sehat, dia memang paling males ikut acara macem macem. Time is money. Lebih baik dia kerja semalaman.
“Sama Om Surya”
“Om siapa mah?”
“Masa kamu lupa sama Om Surya? Rekan bisnis papah?”
“Tapi om Surya kan katanya pindah ke Jepang?”
“Iya makanya dia pas lagi ke Jakarta jadi ngajak makan malam. Anggap aja reuni.  Dia kangen sama kamu. Nanyain kamu terus. Nanti malam Rizal juga diajak. Masi inget kan Rizal? Temen kamu manjat pohon cermai dulu waktu kecil”
Rida jadi mesem sedikit saat membayangkan Rizal. Memang banyak yang dia pelajari dari Rizal. Sebagian sifat tomboynyapun diwarisinya dari Rizal. Maklum, Rida anak tunggal. Dan dari kecil memang kepingin jadi anak laki laki. Soalnya ia tau orang tuanya amat mendambakan anak lelaki. Makanya Rida jadi dekat sama Rizal.
“tadi mamah ketemu istrinya om Surya . Katanya Rizal nanyain nomer telepon kamu”
“terus?”
“Ya mama kasih aja”
Selang beberapa detik terdengar bunyi bip dari BB Rida. Lagi lagi sebuah nomer yang tak dikenal.
“Hi Rid. Its me Ical. Remember me? Hope to see u tonight ya!”
Ical. Itu nama panggilan Rizal.
“Dari siapa? Kantor?” tebak bu Sari.
“Bukan mah. Dari Ical”
“Rizal?”
Rida mengangguk. Ia kemudian membalasnya.
“Hi. Long time no see. C u tonight”
Ada sesuatu dihatinya yang membuatnya begitu mudah mengucapkan janji. Padahal barusan Rida malas diajak sama mamanya untuk ikut makan malam. Tapi begitu sms dari Rizal masuk, otomatis Rida memastikan kehadirannya di acara nanti malam. Ada sesuatu. Entah apa. Yang membuat Rida jadi melupakan soal kanker rahimnya. Yang membuat bibirnya membentuk sebuah senyum kecil. Ada sesuatu. Sebuah misteri yang dibawa oleh sebuah nama dari masa kecilnya. Rizal alias Ical.
bersambung
SAKSIKAN TRAILER NYA

No comments:

Post a Comment