Monday, July 18, 2011

Sneak Preview NOVEL on progress 4 MUSIM

Waktu baru menunjukkan pukul setengah enam pagi, namun matahari di musim panas sudah tak sabar ingin mengintip keluar dari peraduannya. Membangunkan setiap insan di belahan utara benua Amerika ini untuk segera memulai hari barunya. Termasuk aku, Putu Ira Sulastri. Perempuan Indonesia kelahiran Singaraja dari pulau dewata, yang nyasar ke negeri empat musim ini dengan embel embel klise: ikut suami.

Musim panas bukan masalah buat diriku, yang terbiasa bercanda dengan matahari pantai nan terik. Tapi musim-musim lainnya sering terasa terlalu dingin dan brutal untuk tubuh ukuran wanita asia yang minim lemak ini. Tulang kecil, begitu kata almarhum nenekku Ni Ketut. Gampang masuk angin, rentan pada suhu dingin. Musim semi, musim gugur dan terutama musim salju yang kulewati selama lebih dari 86 purnama di Kanada, terasa telah mengikis hampir habis persediaan energiku.

Sebuah ilmu negeri Cina yang pernah kubaca disebuah majalah, percaya pada energi “chi” yang konon merupakan sumber segala kehidupan. Sumber segala kekuatan dalam tubuh manusia yang menggerakkan semua fungsi organ organ dalam tubuh, termasuk memperngaruhi keadaan bathin. Barangkali kalau aku mendatangi dokter negeri Cina, aku akan divonis sebagai manusia tanpa “chi”. Sungguh, sudah tak ada lagi energi yang tersisa. Bahkan di musim panas yang biasanya sangat kunikmati ini. Tak ada lagi energi yang bisa kunikmati untuk diri sendiri, karena semua persediaan energi yang masih tersisa kusimpan baik-baik untuk menjalankan tugasku sebagai istri, dan ibu dari dua anakku yang masih kecil. Enya 11 tahun dan Edo 6 tahun.

“Mama…mama….” Suara teriakan Edo kecil yang sangat mirip dengan suara kakak perempuannya membelah ruangan kamarku. Masih mengenakan piyama birunya bergambar tokoh kartun Sponge Bob, ia melompat naik ke atas ranjangku. Bagi yang belum pernah merasakan jadi seorang ibu, sulit untuk menjelaskan bagaimana perasaanku setiap kali menatap Edo dan Enya. Di mataku, di mata seorang ibu, anak-anak bukan sekedar anugerah dari yang Maha Pencipta. Mereka adalah karya seni, kelanjutan dari kehidupanku. Mereka seperti tunas muda yang harus kujaga, benih masa depan yang kutanam dengan jerih payah dan keringat serta pengorbanan. Lebih dari semua itu, mereka adalah buah cinta kasihku, sumpah sehidup sematiku dengan suamiku, Evan.

Dengan mata yang masih sulit membuka dan badan yang masih kaku, aku menyambut Edo. Ia menghadiahiku dengan kecupan ringan di seluruh wajahku. Kelakuannya mirip dengan Zenon, anjing herder peliharaan kami, yang hobby menjilati seluruh wajah anggota keluarga kami.
 “Kok sudah bangun? Masih pagi kan?” bisikku.
 “Kangen sama mama” ujarnya lugu. Bibirku tersenyum, hatiku tersentuh. Setiap pagi, kata kata itu selalu diucapkannya. Tapi telingaku, apalagi hatiku tak pernah bosan mendengarnya. Bathinku tetap saja tersentuh. Tak ada perasaan yang lebih indah selain merasa dibutuhkan oleh seseorang. Perasaan itu membuat hidup dan pengorbanan menjadi sangat berarti. Tidak sia sia. Waktu tidurnya yang hanya 9 jam itu sudah cukup membuatnya rindu padaku!

Aku mencium ubun ubunnya. Rambutnya yang coklat kemerahan adalah gabungan dari gen Asiaku dengan gen Eropa suamiku, ayahnya. Wanginya masih seperri 6 tahun lalu, saat ia masih bayi. Belum ada tanda tanda tercemar oleh lingkungan, cuaca dan usia. Tidak seperti rambutku yang wanginya mengikuti wangi shampo yang kugunakan. Ganti merek, ganti aroma. Wangi rambut Edo selalu sama. Selalu menghadirkan lagi detik-detik penantian di kamar operasi, 6 tahun lalu, saat dokter menyatakan Edo harus dilahirkan melalui pisau bedah Caesar.
 “Papa mana? Udah pergi?” tanyaku bodoh.
Edo manggut sembari sembunyi di balik selimutku.
Tentu saja Evan sudah pergi. Evan bangun jam 5 pagi setiap hari. Tak perduli hari kerja atau hari libur di akhir pekan. Itu sudah merupakan siklus kehidupannya. Evan sangat disiplin. Mungkin karena latar belakangnya dari keluarga Eropa Timur. Mereka memang terkenal lebih disiplin terutama kalau dibandingkan manusia manusia dari daerah pantai tropis. Sebuah buku yang kubaca pernah membahas studi ini. Iklim disebuah tempat juga menentukan karakter penduduknya. Penduduk di daerah beriklim hangat, seperti pantai tropis terkenal lebih santai. Alon alon asal kelakon kata pepatah Jawa. Sementara manusia yang hidup di negeri empat musim, mau tidak mau harus disiplin sebab mereka harus selalu siap menghadapi kondisi musim yang silih berganti. Hidup mereka lebih banyak memerlukan antisipasi dan persiapan. Menghadapi datangnya badai salju, tak semudah mengembangkan payung saat hujan turun di Bali, misalnya.

Kuajak Edo turun ke dapur untuk sarapan. Edo sangat suka makanan Indonesia. Tak seperti ayahnya, yang puas dengan sarapan ‘dingin’ seperti susu dan semangkuk sereal. Edo dan Enya lebih suka sarapan ‘hangat’. Roti bakar dan nasi goreng adalah favorit mereka. Pokoknya harus hangat. Bahkan susupun harus dipanaskan.

Sembari menunggu roti mencuat dari toaster, kusiapkan vitamin untuk Edo dan Enya. Dua untuk Edo dan empat butir buat Enya.
 “Enyaaa! “ teriakku untuk membangunkan si sulung. Mudah mudahan teriakanku mampu menembus ke lantai dua dimana kamar Enya dan Edo berada.
 “Enyaaaaaa!!! “ teriak Edo lebih nyaring. Membantuku. Seolah tau kalau energi mamanya tak lagi mencukupi untuk mencapai frekuensi tertentu. Tak ada jawaban dari Enya. Enya memang lebih rajin tidur dibandingkan Edo. Barangkali menuruni sifatku. Seandainya bisa, aku rasanya ingin tidur seharian. Membayar sekian tahun jam tidurku yang terkorupsi lantaran tugas tugas dan tanggung jawabku sebagai seorang ibu dan istri. Terutama sejak 86 purnama lalu, waktu Evan memboyong kami sekeluarga ke Kanada. Kuucapkan selamat tinggal pada si Ni Luh, pembantu merangkap pengasuh anak anakku. Pada Anwar, tukang kebun merangkap supir kami di Denpasar dulu. Masih kuingat mata mereka yang berkaca kaca melepas kepergianku. Bukan karena sedih kehilangan pekerjaan dan gaji, tapi karena merasa kehilangan anggota keluarga. Delapan tahun sudah mereka mengabdi padaku. Bahkan sebelum aku menikah dengan Evan. Bagi Ni Luh dan Anwar, aku sudah dianggap seperti kakak mereka sendiri.

Kesedihan mereka kini kuartikan berbeda. Mungkin saja mereka sedih karena membayangkan kehidupanku kelak di negeri empat musim ini. Barangkali mereka sudah tau dan sudah punya firasat, kalau aku tak bakalan mampu mandiri tanpa bantuan mereka berdua. Tahun pertamaku di Kanada, aku begitu merindukan Ni Luh dan Anwar. Aku baru bisa benar benar menghargai mereka setelah meninggalkan tanah air. Pepatah lama itu benar, sesuatu baru terasa maknanya apabila kita kehilangan sesuatu itu. Selama kita masih memilikinya, kita sering tak menyadari betapa berharganya sesuatu itu.
 “Ma…” panggil Edo memutuskan lamunanku. Ditangannya sudah ada sebuah piring berisi dua roti bakar.
 “Astaga…Edo!” pekikku panik. Rupanya dia sudah tak sabaran dan mengambil sendiri roti dari panggangan itu.
 “Edo ngga bisa ngambil selai coklatnya ma” ia meringis lucu sambil menunjuk kearah lemari dapur dimana selai coklat tersimpan. Aku menghela nafas.
 “Lain kali harus tunggu mama ya? Kalo tangan Edo terbakar panas toaster gimana?”
 “Nanti papa marah sama mama, kalo tangan Edo kebakar ya ma?” tanyanya naïf.

Kuantar Edo ke meja makan. Kusiapkan vitamin di sebalah kanan piring sarapan paginya, dan segelas susu hangat di sebelah kiri.
 “Mama bangunin Enya dulu ya sayang,”
 Edo meraih remote control dan menyalakan televisi. Dengan fasih di carinya saluran anak anak kesukaannya. Disney Chanel atau Discovery Kids Chanel.

Aku melangkah meniti tangga menuju ke lantai atas untuk membangunkan Enya. Di sepanjang anak tangga, mainan, kaus kaki dan sandal berserakan. Tiap dua langkah aku harus membungkuk, meraih barang barang yang berserakan di sepanjang anak tangga itu. Tulang tulang dan persendianku berteriak karenanya. Padahal ini musim panas. Bagaimana nanti, kalau musim dingn dan salju kembali turun? Bisa bisa tulang persendianku protes dan melakukan aksi mogok.
 “Enya…bangun sayang…Enya?” kuketuk pintu kamarnya. Sekali, dua kali, tiga kali. Tak ada jawaban, akupun melangkah masuk. “Enya? Enyaaaa!!!"


BAB 2

Desis lirihku mendadak sontak berubah jadi teriakan histeris. Kakiku ingin berlari tapi tak kuasa bergerak sama sekali. Hanya mataku yang terbelalak menatap ke atas tempat tidur, dimana Enya terbaring kaku. Sama sekali tak bergerak. Bahkan ketika kuguncang tubuhnya. Selimutnya tersingkap dan apa yang kulihat sungguh diluar dugaanku. Sungguh membuatku terpaku, tak kuasa berbuat apa-apa selain meneriakkan namanya dengan nelangsa.
“Enyaaaaa!!!!!”

No comments:

Post a Comment