Zara Zettira ZR
Part 1
Hidup ini singkat. Bahkan kita tidak tau kapan hidup ini akan diambil oleh Dia Sang pemberi hidup. Maka wajar kalau setiap manusia ingin secepat mungkin meraih impiannya dan mewujudkan rencana rencana kehidupan mereka.
Kenyataan ini disadari betul olah Rida. Karena iapun seorang wanita karir. Yang punya tanggung jawab besar pada perusahaannya. Perusahaan warisan orang tuanya, almarhum pak Amron Trisnandi. Ibunya, Bu Sarinastiti, hanya tamatan SMA. Bukan karena Bu Sari berasal dari keluarga kekurangan, tapi karena orang tuanya sudah dikejar dead line. Sudah kadung membuat perjanjian dengan orang tua Raden Amron Trisnandi, untuk menikahkan outri mereka dengan anak tunggal keluarga itu. Maka selepas SMA Bu Sari buru buru dinikahkan dengan pak Amron.
Bu Sari yang anak tunggal, kemudian dituntut untuk segera memberikan keturunan. Karena pak Amron juga anak tunggal maka tuntutan itu bukan Cuma datang dari keluarga bu Sari, tapi juga dari keluarga suaminya, Pak Amron. Jadilah impian Bu Sari untuk meneruskan cita citanya masuk perguruaan tinggi terbengkalai. Bahkan terkubur . Makin lama makin dalam cita cita itu terkubur sampai akhirnya Bu Sari tidak ingat lagi sama cita cita masa mudanya itu. Ia sibuk menjadi pendamping, berusaha menjadi seorang ibu memberikan keturunan pada suaminya.
Rida adalah anak tunggal mereka. Perempuan pula. Agak jauh dari harapan keluarga yang mendambakan pewaris tahta berjenis kelamin laki laki. Perempuan bisa apa? Kan begitu pemikiran tradisional yang sudah mendarah daging beribu ribu tahun selama ini. Perempuan takdirnya akan dikawinkan dan kelak akan memakai nama suaminya. Misalnya Rida menikah dengan pria bernama Joko lelono, maka nama keluarga Trisnandi akan lenyap karna Rida akan menjadi Nyonya Joko Lelono. Anak anak Ridapun nantinya akan menggunakan nama ayahnya. Bukan nama Trisnandi lagi.
Sejak kecil, semua ini sudah jadi beban buat Rida. Meski ayah dan ibu amat menyayanginya, Rida tidak tuli. Seringkali ia mendengar kakek dan neneknya menanyakan upaya Bu Sari untuk hamil lagi. Mereka ingin Bu Sari terus berusaha sampai memperoleh anak laki laki. Rida tidak tau persis apa saja usaha ibunya. Maklum ia masih amat kecil. Rida juga sibuk dengan sekolahnya. Teman temannya. Dan lain lainnya. Yang dia tau, ibunya sangat sering pergi ke dokter. Bahkan kadang rida ditinggal berhari hari karena ibu dan ayah haris berobat keluar negri. Padahal ibu dan ayah sehat-sehat saja. Mungkin berobat yang dimaksud bukan mengobati penyakit, melainkan upaya untuk mendapatkan anak lelaki, bathin Rida.
Sebenarnya, Rida menjadi tegar dan ambisius begini sebagian juga disebabkan karena kondisi dalam keluarganya. Ia tahu persis betapa ayah nya dan sebagian besar keluarga, memandang remeh pada dirinya. Walau tidak secara langsung, bathin Rida merasakannya. Mereka menganggap Rida tak cukup mampu meneruskan usaha pak Amron. Usaha yang telah dirintis puluhan tahun itu terancam lenyap karena Rida bukan anak lelaki.
Makanya, Rida suka menolak kalau ibu mengajaknya membantu di dapur. Rida lebih suka ikut les macem macem. Dari les bahasa inggris sampai les kumon. Biarpun angka pelajaran matematikanya di sekolah sudah paling top, Rida tetap ikut Kumon. Pokoknya Rida ingin dianggap mampu. Ingin lebih disayang sama ayahnya. Dan terutama rida sangat ingin menghapus kegundahan dari wajah ibunya. Kegundahan yang terpendam, yang hanya bisa dirasakan oleh orang yang benar benar care. Kegundahan yang datang karena tuntutan untuk melahirkan anak lelaki.
Kini Rida sudah dewasa. Di depan namanya berjejeran gelar gelar dari pendidikan yang dijalaninya selama ini. Di Indonesia dan diluar negri. Nama belakangnya juga masih Trisnandi. Rida enggan menggantinya. Dia ingin ayahnya bangga karena nama besar itu masih bertahta dalam perusahaan. Masih dipakai oleh anaknya biarpun anaknya itu seorang perempuan. Mungkin keengganan mengganti nama belakang ini juga yang membuat Rida seolah melupakan kebutuhannya. Kebutuhan seorang perempuan untuk menikah dan bersuami. Karena kalau dia menikah nanti tentu dia harus mengganti namanya. Dia bukan Rida lagi melainkan akan menjadi Nyonya X atau nyonya Y atau istrinya si Anu.
Dalam karirnyapun Rida sangat ambisius. Dan ia mampu membuktikan ambisinya. Cabang perusahaan yang hanya tiga saat ayahnya meninggal dunia, kini sudah beranak pinak menjadi delapan dalam kurun waktu hanya 5 tahun saja. Dan semua ini adalah murni hasil kerja Rida sendiri. Kalaupun ada bantuan dari pihak lain, hanya sebuah nama yang muncul dalam benak Rida. RIZAL !
Rizal sebenarnya anak dari rekan bisnis almarhum pak Amron. Sejak kecil mereka sudah saling kenal. Tapi kemudian terpisah lantaran Rizal memilih untuk meneruskan sekolah ke Amerika sedangkan Rida memilih London sebagai tempat kuliahnya. Ketika kembali ke Jakarta, terjadi pertemuan yang tidak disengaja. Kala itu, Rida sedang menerima sebuah proposal dari seorang perempuan bernama Helena. Menawarkan kerja sama untuk membangun kantor cabang Rida di Denpasar. Helena mewakili sebuah biro arsitektur. Dan jujur, Rida sangat menyukai Helena. Usianya beberapa tahun lebih muda dari Rida. Namun semangatnya dalam bekerja jauh melampaui semangat Rida. Ria seolah olah melihat dirinya sendiri dalam diri Helena. Mungkin itu yang membuatnya tertarik untuk mempertimbangkan Helena dan perusahaan arsitekturnya .
“ini perusahaan kamu sendiri?” tanya Rida saat menerima Helena dalam presentasi final.
“Bukan Mba”
“Kok kayaknya kamu ambisius banget, mau memenangkan kontrak dari saya?”
“Saya hanya pegawai”
“beruntung sekali, perusahaan kamu punya pegawai kaya kamu. Kamu memperlakukan perusahaan seolaholah milik kamu sendiri…” puji Rida dengan tulus.
“Saya merasa saya punya masa depan bagus di perusahaan ini Bu. Sudah 3 tahun saya bergabung disini. Jadi wajar kan kalau saya menganggap perusahaan ini seperti milik saya sendiri?” ujar Helena.
“PT Surya Fahrizal…hmm” gumam Rida. Sesaat benaknya seperti teringat akan sesuatu. Nama itu membuka bilik masa lalu dibenaknya. Rasanya dia sudah pernah mendengar nama ini sebelumnya, Tapi dimana? Hmmm…
“Boss saya dulu pak Surya. Surya fahrizal. “
“Rasanya saya pernah denger deh nama itu…” Rida masih berusaha mengingat ingat.
“Kayanya ngga mungkin ibu kenal sama Pak Surya deh. Pak Surya usianya sudah 65 tahun. Sedangkan ibu paling juga baru 25 tahun” Helena memuji Rida secara tidak langsung.
“25? Kamu pikir umur saya 25 tahun?” Rida tertawa kecil “Selesai kuliah saja umur saya sudah 28 “
“Ah yang bener bu? Artinya umur ibu sekarang berapa dong?” Helena kaget.
“Coba tebak?”
“30?” Helena menebak “Ah ngga mungkin bu. Masa umur 30 masih keliatan muda kaya gini? Ibu pasti seumuran sama saya”
“Umur kamu berapa?”
“24”
“Tambahkan 10 tahun…itulah usia saya”
Helena melotot. Entah kaget beneran atau hanya basa basi. Kemudian ia menggeleng gelengkan kepalanya. Sembari bergumam.
“ngga mungkin ah. Ibu pasti bercanda deh…”
“Lho ngapain saya bercanda soal umur?” sahut Rida. Dalam hati ia akin salut sama Helena. Usianya bary 24 tapi semangat dan kerja kerasnya luar biasa! Diusia 24 tahun Rida masih mengejar ilmu ddibangku kuliah. Menamatkan gelar doktornya di jurusan ekonomi. Saat itu Rida belum punya penghasilan. Masih enak enak menerima kiriman uang dari keluarga. Mulai dari biaya hidup sampai kuliah di usia 24 tahun semua masih jadi tanggungan keluarga. Sedangkan Helena, sudah bekerja. Sudah punya penghasilan dan tanggung jawab sendiri terhadap hidupnya. Bahkan kalau tadi dia bilang sudah 3 tahu bekerja di perusahaan ini, artinya Helena mulai bekerja sejak usia 21 tahun?
“Kamu kerja mulai umur 21 dong?” cetus Rida penasaran.
“Iya bu. Sejak lulus SMA saya sudah langsung kerja. Ngga punya uang buat nerusin kuliah soalnya” jawab Helena jujur. Ia lalu menatap kartu nama Rida yang ada dihadapannya. Ada kesedihan tersirat beberapa detik dimata Helena. Di kartu itu berjejer gelar pendidikan Rida.
Saat itulah Rida memutuskan untuk menjadikan perusahaan Helena sebagai partner. Selain karena portfolio perusahaan itu memang oke, ada alasan pribadi. Rida menyukai Helena. Menyukai semangatnya. Dan juga sedikit merasa kasihan pada Helena. Anak putus sekolah yang Cuma tamat SMA tapi punya impian setinggi langit. Rida juga pernah merasakan tekanan itu, wakau bukan dari sisi eknomi seperti Helena. Tekanan yang dialami Rida lebih rumit. Ia ingin membuktikan kalau dirinya ngga akan kalah sama laki laki. Ingin membuktikan pada ayahnya dan keluarganya bahwa tanpa anak lelakipun peerusahaan keluarga akan maju ditangan Rida.
Kesamaan antara dua manusia memang sering jadi lem perekat yang ampuh. Kesamaan mempersatukan kita. Dan kesamaan itulah yang dirasakan Rida sebagai alasan untuk memberikan kesempatan pada Helena.
“Oke, besok jam 10 ajak bossmu untuk menandatangani perjanjian kerja sama kita ya?” Rida memutuskan.
“Ibu???” Helena nampak kaget. Lalu kekagetan itu berubah jadi senyum lebar. Di tariknya tangan Rida lalu diciumnya berkali kali. Helena tak mampu menutupi kegembiraannya.
“Makasih bu…makasihhhh . kontrak ini penting sekali buat perusahaan saya dan karir saya…”
“Sama sama” sahut Rida kalem.
“ibu baik sekali, Saya janji ngga akab mengecewakan ibu. Kontrak dengan perusahaan ibu akan saya prioritaskan!” janji Helena.
“Trimakasih. Mudah mudahan kerja sama ini baik untuk kita semua. Saya tunggu jam 10 ya?”
Tiba tiba Rida ingin segera menyudahi meeting itu. Ia mulai merasakan ngilu di bagian perutnya. Ngilu yang setahun terakhir ini makin sering saja mampir di bagian itu. Ngilu yang membuat Rida mulai rutin mengunjungi dokter Amir. Kadang rasa ngilu itu tak tertahankan. Membuat Rida keringat diingin bagai hampir pingsan. Makanya Rida ingin buru buru Helena pergi dari ruangannya.
“Bu? Ibu baik baik aja?” tanya Helena agak prihatin. Butir butir keringat mulai merembes dikening Rida.
“ya. Mh..maaf saya ada meeting lain” Rida berdiri, mengusir secvara halus.
Helena segera pamit. Ia keluar dengan wajah prihatin.
“Mh…ibu…?”
“Saya ngga apa-apa. Sampai besok ya”
Rida mengantar Helena sampai ke pintu. Bakan ia membukakan pintu untuk Helena saking ingin Helena segera keluar. Ia tak mau ada orang lain yang mengetahui sakitnya. Bahkan ia tak mau ibunya sendiri tahu penderitaannya. Kekhawatirannya. Kecemasannya. Karena sesungguhnya Rida sendiri belum tahu apa sebetulnya penyebab ngilu itu. Dokter Amir belum memberikan vonis apa-apa. Beliau juga sedang sibuk mencari tau soal rasa ngilu di perut Rida itu. Memang sudah ada beberap dugaan. Tapi masih sebatas digaan belum kesimpulan akurat.
Setelah Helena keluar, Rida duduk dikursinya dengan mata terpejam. Berusaha menenangkan dirinya sendiri. Rasa sakit itu makin lama bukan makin lenyap tapi malah makin terasa. Sampai akhirnya Rida tak tahan lagi, ia segera menelpon dokter Amir.
“Om, tolong ke kantor saya sekarang juga!” tukas Rida . Nafasnya mulai terengah engah. Keringat mengucur deras. Bahkan tangannyapun sampai tak kuat lagi mengangkat gagang telepon. Rida terkulai di kursinya. Matanya terpejam. Kedua tangannya bertumpu di perutnya. Bibirnya kelu tapi hatinya terus berdoa.
“Ya Tuhan, aku masih ingin hidup. Aku masih punya banyak tanggung jawab. Aku tidak bisa meninggalkan perusahaan ini . aku masih harus meneruskan impian almarhum ayahku….”
bersambung
PART 2
WATCH THE TRAILER
Part 1
Hidup ini singkat. Bahkan kita tidak tau kapan hidup ini akan diambil oleh Dia Sang pemberi hidup. Maka wajar kalau setiap manusia ingin secepat mungkin meraih impiannya dan mewujudkan rencana rencana kehidupan mereka.
Kenyataan ini disadari betul olah Rida. Karena iapun seorang wanita karir. Yang punya tanggung jawab besar pada perusahaannya. Perusahaan warisan orang tuanya, almarhum pak Amron Trisnandi. Ibunya, Bu Sarinastiti, hanya tamatan SMA. Bukan karena Bu Sari berasal dari keluarga kekurangan, tapi karena orang tuanya sudah dikejar dead line. Sudah kadung membuat perjanjian dengan orang tua Raden Amron Trisnandi, untuk menikahkan outri mereka dengan anak tunggal keluarga itu. Maka selepas SMA Bu Sari buru buru dinikahkan dengan pak Amron.
Bu Sari yang anak tunggal, kemudian dituntut untuk segera memberikan keturunan. Karena pak Amron juga anak tunggal maka tuntutan itu bukan Cuma datang dari keluarga bu Sari, tapi juga dari keluarga suaminya, Pak Amron. Jadilah impian Bu Sari untuk meneruskan cita citanya masuk perguruaan tinggi terbengkalai. Bahkan terkubur . Makin lama makin dalam cita cita itu terkubur sampai akhirnya Bu Sari tidak ingat lagi sama cita cita masa mudanya itu. Ia sibuk menjadi pendamping, berusaha menjadi seorang ibu memberikan keturunan pada suaminya.
Rida adalah anak tunggal mereka. Perempuan pula. Agak jauh dari harapan keluarga yang mendambakan pewaris tahta berjenis kelamin laki laki. Perempuan bisa apa? Kan begitu pemikiran tradisional yang sudah mendarah daging beribu ribu tahun selama ini. Perempuan takdirnya akan dikawinkan dan kelak akan memakai nama suaminya. Misalnya Rida menikah dengan pria bernama Joko lelono, maka nama keluarga Trisnandi akan lenyap karna Rida akan menjadi Nyonya Joko Lelono. Anak anak Ridapun nantinya akan menggunakan nama ayahnya. Bukan nama Trisnandi lagi.
Sejak kecil, semua ini sudah jadi beban buat Rida. Meski ayah dan ibu amat menyayanginya, Rida tidak tuli. Seringkali ia mendengar kakek dan neneknya menanyakan upaya Bu Sari untuk hamil lagi. Mereka ingin Bu Sari terus berusaha sampai memperoleh anak laki laki. Rida tidak tau persis apa saja usaha ibunya. Maklum ia masih amat kecil. Rida juga sibuk dengan sekolahnya. Teman temannya. Dan lain lainnya. Yang dia tau, ibunya sangat sering pergi ke dokter. Bahkan kadang rida ditinggal berhari hari karena ibu dan ayah haris berobat keluar negri. Padahal ibu dan ayah sehat-sehat saja. Mungkin berobat yang dimaksud bukan mengobati penyakit, melainkan upaya untuk mendapatkan anak lelaki, bathin Rida.
Sebenarnya, Rida menjadi tegar dan ambisius begini sebagian juga disebabkan karena kondisi dalam keluarganya. Ia tahu persis betapa ayah nya dan sebagian besar keluarga, memandang remeh pada dirinya. Walau tidak secara langsung, bathin Rida merasakannya. Mereka menganggap Rida tak cukup mampu meneruskan usaha pak Amron. Usaha yang telah dirintis puluhan tahun itu terancam lenyap karena Rida bukan anak lelaki.
Makanya, Rida suka menolak kalau ibu mengajaknya membantu di dapur. Rida lebih suka ikut les macem macem. Dari les bahasa inggris sampai les kumon. Biarpun angka pelajaran matematikanya di sekolah sudah paling top, Rida tetap ikut Kumon. Pokoknya Rida ingin dianggap mampu. Ingin lebih disayang sama ayahnya. Dan terutama rida sangat ingin menghapus kegundahan dari wajah ibunya. Kegundahan yang terpendam, yang hanya bisa dirasakan oleh orang yang benar benar care. Kegundahan yang datang karena tuntutan untuk melahirkan anak lelaki.
Kini Rida sudah dewasa. Di depan namanya berjejeran gelar gelar dari pendidikan yang dijalaninya selama ini. Di Indonesia dan diluar negri. Nama belakangnya juga masih Trisnandi. Rida enggan menggantinya. Dia ingin ayahnya bangga karena nama besar itu masih bertahta dalam perusahaan. Masih dipakai oleh anaknya biarpun anaknya itu seorang perempuan. Mungkin keengganan mengganti nama belakang ini juga yang membuat Rida seolah melupakan kebutuhannya. Kebutuhan seorang perempuan untuk menikah dan bersuami. Karena kalau dia menikah nanti tentu dia harus mengganti namanya. Dia bukan Rida lagi melainkan akan menjadi Nyonya X atau nyonya Y atau istrinya si Anu.
Dalam karirnyapun Rida sangat ambisius. Dan ia mampu membuktikan ambisinya. Cabang perusahaan yang hanya tiga saat ayahnya meninggal dunia, kini sudah beranak pinak menjadi delapan dalam kurun waktu hanya 5 tahun saja. Dan semua ini adalah murni hasil kerja Rida sendiri. Kalaupun ada bantuan dari pihak lain, hanya sebuah nama yang muncul dalam benak Rida. RIZAL !
Rizal sebenarnya anak dari rekan bisnis almarhum pak Amron. Sejak kecil mereka sudah saling kenal. Tapi kemudian terpisah lantaran Rizal memilih untuk meneruskan sekolah ke Amerika sedangkan Rida memilih London sebagai tempat kuliahnya. Ketika kembali ke Jakarta, terjadi pertemuan yang tidak disengaja. Kala itu, Rida sedang menerima sebuah proposal dari seorang perempuan bernama Helena. Menawarkan kerja sama untuk membangun kantor cabang Rida di Denpasar. Helena mewakili sebuah biro arsitektur. Dan jujur, Rida sangat menyukai Helena. Usianya beberapa tahun lebih muda dari Rida. Namun semangatnya dalam bekerja jauh melampaui semangat Rida. Ria seolah olah melihat dirinya sendiri dalam diri Helena. Mungkin itu yang membuatnya tertarik untuk mempertimbangkan Helena dan perusahaan arsitekturnya .
“ini perusahaan kamu sendiri?” tanya Rida saat menerima Helena dalam presentasi final.
“Bukan Mba”
“Kok kayaknya kamu ambisius banget, mau memenangkan kontrak dari saya?”
“Saya hanya pegawai”
“beruntung sekali, perusahaan kamu punya pegawai kaya kamu. Kamu memperlakukan perusahaan seolaholah milik kamu sendiri…” puji Rida dengan tulus.
“Saya merasa saya punya masa depan bagus di perusahaan ini Bu. Sudah 3 tahun saya bergabung disini. Jadi wajar kan kalau saya menganggap perusahaan ini seperti milik saya sendiri?” ujar Helena.
“PT Surya Fahrizal…hmm” gumam Rida. Sesaat benaknya seperti teringat akan sesuatu. Nama itu membuka bilik masa lalu dibenaknya. Rasanya dia sudah pernah mendengar nama ini sebelumnya, Tapi dimana? Hmmm…
“Boss saya dulu pak Surya. Surya fahrizal. “
“Rasanya saya pernah denger deh nama itu…” Rida masih berusaha mengingat ingat.
“Kayanya ngga mungkin ibu kenal sama Pak Surya deh. Pak Surya usianya sudah 65 tahun. Sedangkan ibu paling juga baru 25 tahun” Helena memuji Rida secara tidak langsung.
“25? Kamu pikir umur saya 25 tahun?” Rida tertawa kecil “Selesai kuliah saja umur saya sudah 28 “
“Ah yang bener bu? Artinya umur ibu sekarang berapa dong?” Helena kaget.
“Coba tebak?”
“30?” Helena menebak “Ah ngga mungkin bu. Masa umur 30 masih keliatan muda kaya gini? Ibu pasti seumuran sama saya”
“Umur kamu berapa?”
“24”
“Tambahkan 10 tahun…itulah usia saya”
Helena melotot. Entah kaget beneran atau hanya basa basi. Kemudian ia menggeleng gelengkan kepalanya. Sembari bergumam.
“ngga mungkin ah. Ibu pasti bercanda deh…”
“Lho ngapain saya bercanda soal umur?” sahut Rida. Dalam hati ia akin salut sama Helena. Usianya bary 24 tapi semangat dan kerja kerasnya luar biasa! Diusia 24 tahun Rida masih mengejar ilmu ddibangku kuliah. Menamatkan gelar doktornya di jurusan ekonomi. Saat itu Rida belum punya penghasilan. Masih enak enak menerima kiriman uang dari keluarga. Mulai dari biaya hidup sampai kuliah di usia 24 tahun semua masih jadi tanggungan keluarga. Sedangkan Helena, sudah bekerja. Sudah punya penghasilan dan tanggung jawab sendiri terhadap hidupnya. Bahkan kalau tadi dia bilang sudah 3 tahu bekerja di perusahaan ini, artinya Helena mulai bekerja sejak usia 21 tahun?
“Kamu kerja mulai umur 21 dong?” cetus Rida penasaran.
“Iya bu. Sejak lulus SMA saya sudah langsung kerja. Ngga punya uang buat nerusin kuliah soalnya” jawab Helena jujur. Ia lalu menatap kartu nama Rida yang ada dihadapannya. Ada kesedihan tersirat beberapa detik dimata Helena. Di kartu itu berjejer gelar pendidikan Rida.
Saat itulah Rida memutuskan untuk menjadikan perusahaan Helena sebagai partner. Selain karena portfolio perusahaan itu memang oke, ada alasan pribadi. Rida menyukai Helena. Menyukai semangatnya. Dan juga sedikit merasa kasihan pada Helena. Anak putus sekolah yang Cuma tamat SMA tapi punya impian setinggi langit. Rida juga pernah merasakan tekanan itu, wakau bukan dari sisi eknomi seperti Helena. Tekanan yang dialami Rida lebih rumit. Ia ingin membuktikan kalau dirinya ngga akan kalah sama laki laki. Ingin membuktikan pada ayahnya dan keluarganya bahwa tanpa anak lelakipun peerusahaan keluarga akan maju ditangan Rida.
Kesamaan antara dua manusia memang sering jadi lem perekat yang ampuh. Kesamaan mempersatukan kita. Dan kesamaan itulah yang dirasakan Rida sebagai alasan untuk memberikan kesempatan pada Helena.
“Oke, besok jam 10 ajak bossmu untuk menandatangani perjanjian kerja sama kita ya?” Rida memutuskan.
“Ibu???” Helena nampak kaget. Lalu kekagetan itu berubah jadi senyum lebar. Di tariknya tangan Rida lalu diciumnya berkali kali. Helena tak mampu menutupi kegembiraannya.
“Makasih bu…makasihhhh . kontrak ini penting sekali buat perusahaan saya dan karir saya…”
“Sama sama” sahut Rida kalem.
“ibu baik sekali, Saya janji ngga akab mengecewakan ibu. Kontrak dengan perusahaan ibu akan saya prioritaskan!” janji Helena.
“Trimakasih. Mudah mudahan kerja sama ini baik untuk kita semua. Saya tunggu jam 10 ya?”
Tiba tiba Rida ingin segera menyudahi meeting itu. Ia mulai merasakan ngilu di bagian perutnya. Ngilu yang setahun terakhir ini makin sering saja mampir di bagian itu. Ngilu yang membuat Rida mulai rutin mengunjungi dokter Amir. Kadang rasa ngilu itu tak tertahankan. Membuat Rida keringat diingin bagai hampir pingsan. Makanya Rida ingin buru buru Helena pergi dari ruangannya.
“Bu? Ibu baik baik aja?” tanya Helena agak prihatin. Butir butir keringat mulai merembes dikening Rida.
“ya. Mh..maaf saya ada meeting lain” Rida berdiri, mengusir secvara halus.
Helena segera pamit. Ia keluar dengan wajah prihatin.
“Mh…ibu…?”
“Saya ngga apa-apa. Sampai besok ya”
Rida mengantar Helena sampai ke pintu. Bakan ia membukakan pintu untuk Helena saking ingin Helena segera keluar. Ia tak mau ada orang lain yang mengetahui sakitnya. Bahkan ia tak mau ibunya sendiri tahu penderitaannya. Kekhawatirannya. Kecemasannya. Karena sesungguhnya Rida sendiri belum tahu apa sebetulnya penyebab ngilu itu. Dokter Amir belum memberikan vonis apa-apa. Beliau juga sedang sibuk mencari tau soal rasa ngilu di perut Rida itu. Memang sudah ada beberap dugaan. Tapi masih sebatas digaan belum kesimpulan akurat.
Setelah Helena keluar, Rida duduk dikursinya dengan mata terpejam. Berusaha menenangkan dirinya sendiri. Rasa sakit itu makin lama bukan makin lenyap tapi malah makin terasa. Sampai akhirnya Rida tak tahan lagi, ia segera menelpon dokter Amir.
“Om, tolong ke kantor saya sekarang juga!” tukas Rida . Nafasnya mulai terengah engah. Keringat mengucur deras. Bahkan tangannyapun sampai tak kuat lagi mengangkat gagang telepon. Rida terkulai di kursinya. Matanya terpejam. Kedua tangannya bertumpu di perutnya. Bibirnya kelu tapi hatinya terus berdoa.
“Ya Tuhan, aku masih ingin hidup. Aku masih punya banyak tanggung jawab. Aku tidak bisa meninggalkan perusahaan ini . aku masih harus meneruskan impian almarhum ayahku….”
bersambung
PART 2
WATCH THE TRAILER
KLIK DISINI UNTUK Loe Gue End!
Tweet
Hotel Room
No comments:
Post a Comment